Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Muhammad Isnur mengungkapkan sejumlah indikasi pengepungan aparat kepolisian di Desa Wadas, Purworejo, Jawa Tengah merupakan rencana yang sudah disusun sistematis.
Menurut Isnur, hal itu terlihat dari sejumlah fakta-fakta yang terjadi saat pengepungan Desa Wadas. Kepolisian, menurutnya, sejak awal sudah mengerahkan pasukan besar-besaran.
“Kita melihat rencana itu dilakukan secara sistematis, terstruktur. Jadi bukan ini kekerasan dilakukan oleh oknum, enggak,” ujar Isnur dalam sebuah diskusi virtual, Sabtu (12/2).
“Bagaimana kalau kita lihat di awal, pemberangkatan di awal dari pintu desa, dari depan ke dalam, itu ratusan, bersamaan. Itu bukan hanya aparat berseragam, mereka bersamaan dengan orang-orang yang tidak berseragam. Entah itu aparat, intel reserse, atau bahkan mungkin preman,” kata dia menambahkan.
Menurut Isnur, tanda-tanda pengepungan aparat di Desa Wadas juga sudah terlihat dari jauh-jauh hari. Menurut laporan warga, sejak Januari 2022, patroli kepolisian di daerah itu meningkat, termasuk menjaga pintu-pintu masuk Desa Wadas.
Tidak hanya itu, menurut Isnur, polisi juga mempersulit pihak LBH Yogyakarta yang mengadvokasi warga. Mereka, dilarang masuk ke Desa Wadas dengan berbagai alasan, termasuk alasan pandemi virus corona (Covid-19).
“Setiap yang mau masuk, bukan hanya warga, tapi demikian LBH, orang yang mengangkut logistik, orang yang mengangkut barang dagangan, barang kebutuhan makan, itu dilarang (masuk). Harus di-swab, pandemi dijadikan alasan aparat mengadang warga yang mau masuk Wadas,” tuturnya.
Faktor lainnya yang semakin memperkuat dugaan pengepungan Wadas sistematis adalah jaringan seluler yang tiba-tiba sulit. Menurutnya, pada April 2021, ketika polisi sempat melakukan kekerasan terhadap warga, banyak warga yang bisa melaporkan insiden itu lewat media sosial.
Namun, pada insiden pengepungan 8 Februari lalu, banyak warga yang kesulitan mengakses jaringan seluler.
“Warga menemukan tiba-tiba sinyal hilang, listrik dipadamkan. Semua upaya warga merekam itu dilarang, jadi memang rekaman atau gambaran-gambaran utuh kekerasan itu tidak selengkap tahun lalu. Makanya sejak awal kami curiga ini kekerasan yang direncanakan,” jelasnya.
Peneliti Lembaga Penelitian, Pendidikan, dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES), Herlambang P. Wiratraman, mengaku sepakat dengan penyampaian Isnur. Bahkan, menurutnya, kekerasan juga tak hanya terjadi pada warga Wadas, tapi jurnalis yang tengah meliput peristiwa tersebut.
“Intimidasi tak berhenti sekalipun otoritas hadir ke lokasi, misalnya DPR datang, tapi faktanya masih ada polisi di sana, bahkan dalam saat yang bersamaan ada kekerasan lagi atau intimidasi kepada jurnalis misalnya,” ujar Herlambang.
Oleh karena itu, menurut dia, kekerasan yang terjadi di Wadas bukan sekadar pelanggaran hukum biasa. Ia menilai, hal ini sudah masuk dalam kategori kejahatan kemanusian.
Pasalnya, dalam peristiwa itu ada unsur sistematis, pengerahan ribuan aparat, ada unsur terencana karena pemadaman listrik serta pelambatan akses internet, intimidasi, serta penangkapan warga secara sewenang-wenang.
“Peristiwa tanggal 8-9 Februari itu bukan sekadar kasus pelanggaran hukum biasa, karena mengarah pada hal yang lebih serius, yakni kejahatan terhadap kemanusiaan,” pungkasnya.
Sebagai informasi, aparat kepolisian berseragam dan perlengkapan komplit masuk dan mengepung Desa Wadas pada Selasa (8/2) pagi. Polisi menyusuri desa sambil mencopot sejumlah spanduk berisi penolakan tambang batu andesit untuk Bendungan Bener serta merampas sejumlah peralatan milik warga.
Polisi juga menangkap puluhan warga yang dianggap melawan. Setidaknya 64 orang ditangkap mulai dari lansia hingga anak di bawah umur. Kedatangan aparat diklaim untuk mendampingi tim dari Badan Pertanahan Nasional (BPN) mengukur lahan untuk pembangunan proyek Bendungan Bener.
Sementara itu, pada Rabu (9/2) Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD mengklaim tidak ada suasana mencekam di Desa Wadas
Mahfud membantah informasi maupun pemberitaan terkait situasi mencekam Desa Wadas saat aparat kepolisian mengawal tim pengukur lahan tambang batuan andesit untuk Bendungan Bener.
“Semua informasi dan pemberitaan yang menggambarkan seakan-akan terjadi suasana mencekam di Desa Wadas kemarin itu sama sekali tidak terjadi sebagaimana yang digambarkan terutama di media sosial,” kata Mahfud.
(dmi/vws)