Suara.com – Aksi Menteri Sosial, Tri Rismaharini meminta anak tuli untuk berbicara di depan publik saat Peringatan Hari Disabilitas Internasional menuai kritikan.
Tri Rismaharini dinilai memaksa anak tuli itu untuk berbicara di hadapan publik. Tindakan Risma pun lantas dikritik oleh pria penyandang tunarungu atau tuli Stefanus yang juga perwakilan dari Gerakan untuk Kesejahteraan tunarungu Indonesia (Gekartin).
“Ibu. mohon maaf, saya mau berbicara dengan ibu sebelumnya. Bahwasanya anak tuli itu memang menggunakan alat bantu dengar tapi tidak untuk kemudian dipaksa bicara. Tadi saya sangat kaget ketika ibu memberikan pernyataan. Mohon maaf, Bu, apa saya salah?” ucap Stefanus.
“Nggak, nggak,” jawab Risma.
Baca Juga:
Studi: Virus Corona Varian Omicron Punya Risiko Infeksi Ulang 2,4 kali Lebih Tinggi
“Saya ingin menyampaikan bahwasanya bahasa isyarat itu penting bagi kami, bahasa isyarat itu adalah seperti mata bagi kami, mungkin seperti alat bantu dengar. Kalau alat bantu dengar itu bisa mendengarkan suara, tapi kalau suaranya tidak jelas itu tidak akan bisa terdengar juga,” kata Stefanus.
Risma lantas menjawab kritikan Stefanus dan menjelaskan alasannya meminta penyandang disabilitas itu untuk berbicara di depan publik.
“Stefan, ibu tidak mengurangi bahasa isyarat, tapi kamu tahu Tuhan itu memberikan mulut, memberikan telinga, memberikan mata kepada kita. Yang ingin ibu ajarkan kepada kalian terutama anak-anak yang dia menggunakan alat bantu dengar sebetulnya tidak mesti dia bisa, sebetulnya tidak mesti bisu,” ujar Risma.
Anda perlu memahami bahwa telinga salah tu bagian tubuh yang sangat penting dan berperan dalam membantu anak berkomunikasi. Setiap suara yang ditangkap oleh telinga akan membuat anak lebih mudah belajar.
Karena itu, kebanyakan anak tuli memang memiliki kesulitan berbicara. Jika anak tulis bisa berbicara, biasanya masih ada beberapa huruf atau kata-kata yang terasa susah diucapkan terutama pada huruf konsonan.
Baca Juga:
Studi: Pasien Virus Corona Covid-19 Parah Berisiko Meninggal Usai 12 Bulan
Tapi dilansir dari Hellosehat, hal ini bukan berarti anak tulis pasti terlahir dalam kondisi bisu atau tidak bisa berbicara. Kemampuan komunikasi ini dipengaruhi oleh kondisi tuli yang dimiliki oleh masing-masing anak.
Ada dua jenis kondisi yang dimiliki anak tulis, yakni ensorineural hearing loss dan conductive hearing loss.
Sensorineural hearing loss adalah kondisi seseorang kehilangan pendengaran secara bermanen yang terjadi ketika ada kerusakan pada sel-sel kecil, seperti rambut dari telinga bagian dalam. Kondisi ini juga bisa terjadi karena ada kerusakan pada saraf pendengaran yang melemahkan saraf ketika mengirim sinyal pembawa informasi tentang suara ke otak.
Sedangkan, conductive hearing loss adalah kondisi yang terjadi ketika ada halangan atau gangguan pada bagian telinga luar atau tengah yang mencegah suara masuk ke telinga bagian dalam. Gangguan pendengaran ini biasanya hanya sementara, tetapi juga bisa menjadi permanen tergantung pada penyebabnya.
Seseorang juga bisa mengalami tuli atau gangguan pendengaran setelah mengenal bahasa, tidak hanya saat lahir. Pada anak tulis dalam kasus ini, mereka mungkin masih memiliki kemampuan berbicara yang baik dan tidak bisu.
Beda halnya jika seseorang sudah tulis sejak lahir. Anak dengan kondisi ini akan lebih kesulitan belajar berkomunikasi, karena mereka tidak bisa mendengar semua suara di sekitar mereka atau suaranya sendiri sejak lahir. Karena itu, biasanya mereka berkomunikasi menggunakan bahasa isyarat.