Tumpul Nalar Pejabat di Balik Klaim Sumbangan Rp2 T Akidi Tio

Tumpul Nalar Pejabat di Balik Klaim Sumbangan Rp2 T Akidi Tio

Jakarta, CNN Indonesia —

Keraguan publik mengenai sumbangan dana penanganan Covid-19 sebesar Rp2 triliun yang dijanjikan oleh keluarga almarhum pengusaha Akidi Tio muncul ketika sang anak bungsu, Heriyanty dijemput polisi pada Senin (2/8) kemarin.

Bukan tanpa sebab, setelah satu pekan janji pemberian bantuan itu diserahterimakan secara simbolis kepada Kapolda Sumatera Selatan (Sumsel) Irjen Pol Eko Indra Heri, hingga kini dana bantuan itu tak kunjung cair.

Sempat menuai pujian publik terutama dari netizen di media sosial, belakangan keluarga Akidi Tio membuat publik geram karena sumbangan tersebut kini hanya dianggap sebagai kebohongan belaka.

Salah satu yang skeptis soal gembar-gembor sumbangan Rp2 triliun itu adalah mantan Menteri Hukum dan HAM, Hamid Awaluddin.

Sebelum Rp2 T dari keluarga Akidi itu menjadi perkara di kepolisian, Hamid salah satu yang bersuara menolak percaya lebih dulu hingga uangnya betul-betul nyata. Melalui sebuah tulisan di kolom media daring, Menkumham era SBY-JK (2004-2009) itu sempat memaparkan keraguannya itu disebabkan banyak faktor.

“Dari awal saya tidak pernah percaya itu (sumbangan Rp2 triliun). Karena orang yang berjanji itu inkonsisten dengan profilnya,” kata Hamid saat berbincang dengan CNNIndonesia.com, Selasa (3/8).

Menurut dia, harta kekayaan Akidi Tio dan keluarganya patut diragukan karena selama ini jarang sekali didengar. Hamid, sebagai mantan pejabat publik pun menilai bahwa latar belakang keluarga pengusaha tersebut tak bisa membuktikan kepemilikan harga hingga Rp2 triliun.

“Kita tidak pernah mendengar ada perusahaannya [keluarga Akidi]. Beda misalnya kalau yang menyumbang itu pemilik BCA, nah semua orang [akan berkata], ‘oh iya iya’. Enggak ada keraguan,” imbuhnya.

Sejumlah pertanyaan-pertanyaan yang harusnya terjawab sejak awal itu, disayangkan Hamid, tak dilakukan pejabat publik di Sumsel sejak awal saat menerima simbolis donasi untuk penanganan pandemi senilai Rp2 triliun dari Akidi Tio.

“Agak terganggu secara intelektual, kenapa kita mudah mempercayai yang begituan. Bukankah ada serentetan kejadian masa silam, terjadi hal seperti ini dan itu tidak terbukti, ya kan?” ujar Hamid.




Heriyanti, Akidi Tio's youngest child left the Widodo Budidarmo Building, Directorate of General Crime Investigation at the South Sumatra Police at 21:59.  Heryanti was examined intensively for nine hours regarding the plan to provide assistance of Rp. 2 trillion for the handling of Covid-19 in South SumatraHeriyanty, anak bungsu almarhum Akidi Tio keluar dari Gedung Widodo Budidarmo Direktorat Reserse Kriminal Umum Polda Sumsel usai diperiksa secara intensif selama sembilan jam. (CNN Indonesia/ Hafidz)

Contoh Kebohongan di Masa Lalu

Sebenarnya, hampir tiap era kedudukan Presiden di Indonesia memiliki kasus-kasus penipuan serupa yang melibatkan pejabat publik.

Salah satu yang paling heboh misalnya, saat mantan Menteri Agama Said Agil Al-Munawar mempercayai kabar keberadaan harta karun di Istana Batutulis, Bogor, Jawa Barat. Kala itu, pemerintahan Presiden Megawati Soekarnoputri yang berkuasa. Said pun mengklaim harta karun di Batutulis itu cukup untuk membayar utang luar negeri RI kala itu.

Said bersikeras untuk menggali harta karun itu, namun menuai banyak protes sehingga tak jadi dilakukan. Hingga saat ini, keberadaan harta karun tersebut tak terbukti.

Atau, sambung Hamid, kasus lain yang mencuat pada 2008 terkait penemuan blue energy di Yogyakarta yang disebut-sebut dapat menjadikan air sebagai bahan bakar. Penelitian ini, didukung kampus Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY).

Kasus yang terjadi pada masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY)-Jusuf Kalla (JK) ini dibatalkan karena dalam perjalanannya tak dapat dibuktikan penelitian tersebut dan tidak pernah ditemukan alat yang dapat mengonversi air menjadi bahan bakar.

“Makanya ketika kasus [sumbangan Akidi Tio] ini muncul, begitulah reaksi intelektual saya yang memprotes. Kenapa kita [elite] mudah percaya, kasihan rakyatnya ya kan,” timpal Hamid dalam perbincangan itu.

Terkait soal kepercayaan pada hal yang mustahil, namun digaungkan seolah jadi kebenaran oleh tokoh elite hingga pejabat publik, Sosiolog dari Universitas Indonesia (UI) Ida Ruwaida mengatakan itu tak lepas dari sifat manusia secara umum yang mudah percaya.

“Apalagi jika sumber informasinya adalah orang-orang yang dikenal, terkenal, atau tokoh berpengaruh. Bahkan uniknya di era digital ini, masyarakat pun mudah percaya dengan informasi-informasi yang belum tentu akurat… Apalagi jika informasi tsb disebarkan oleh orang-orang yang menurut mereka patut dipercaya,” kata Ida saat dihubungi, Rabu (4/8).

Ia pun mencontohkan kasus-kasus lain yang sering muncul di publik seperti penipuan arisan, penggandaan uang, dan lain-lain. Semua itu, sambungnya, memiliki garis merah yakni berkaitan dengan ekonomi.

“Orientasi material atau kesejahteraan secara ekonomi menjadi isu mendasar dalam masyarakat kita, apalagi dalam situasi krisis/pandemi seperti ini,” sambung Ida.

Untuk mengatasi hoaks di masyarakat, kata dia, pejabat publik sangat berperan penting untuk mengontrolnya lewat edukasi kepada warga.

Abai Cek dan Ricek

Dalam kasus Akidi, Hamid meyakini pejabat publik bersangkutan telah abai melakukan konfirmasi dan penelusuran sebelum dengan bangga memublikasikannya kepada publik, termasuk lewat media masa. Padahal, menurut dia negara memiliki sumber daya yang mumpuni untuk menelusuri kebenaran sumbangan itu.

Banyak cara yang dapat dilakukan untuk memastikan uang yang akan disumbangkan benar-benar nyata sebelum membeberkannya kepada masyarakat luas.

“Kan gampang sekali mengeceknya. Pertama melalui transaksi di PPATK. Kan uang Rp100 ribu saja bisa terdeteksi di situ, kedua kroscek dengan pajaknya, ya toh?” kata Hamid.

Sosiolog dari Universitas Andalas Indradin menilai apa yang terjadi pada perkara keluarga Akidi Tio di Sumsel itu menunjukkan kondisi negara yang sudah terkuras anggarannya untuk penanganan pandemi, sehingga pejabat publik sampai sebagian masyarakat ada saja yang percaya bila ada yang mengaku ingin berdonasi guna membantu.

“Salah pihak penerima juga terlalu lugu, karena jumlah yang fantastis itu rasanya sulit dipercaya untuk orang Indonesia,” kata dia saat dihubungi, Rabu (4/8).

Namun, Indradin juga mengaku heran tak ada cek ricek dilakukan institusi Polda Sumsel sebelum rencana pemberian sumbangan itu digembar-gemborkan secara resmi oleh institusi tersebut.

“Mestinya jumlah yang fantastis itu, atau dalam tanda petik tidak masuk akal terjadi di Indonesia mestinya ditelusuri dulu sebelum dinyatakan diterima,” tambahnya. “Ini sama saja dengan percaya takhayul.”


Penyesalan atas Kecerobohan Kapolda


BACA HALAMAN BERIKUTNYA


Scroll to Top