Taliban kembali mengumumkan 38 pejabat baru untuk mengisi kekosongan di pemerintahan Afghanistan. Namun, tak ada satu pun perempuan di dalam daftar pejabat baru tersebut.
Juru bicara Taliban, Zabihullah Mujahid, mengatakan bahwa para pejabat laki-laki itu ditunjuk dalam rapat kabinet pada Senin (4/10).
Sebagaimana dilansir Associated Press, Mujahid mengatakan bahwa para pejabat baru itu akan mengisi pos-pos yang masih kosong, termasuk wakil perdana menteri.
Situs berita Afghanistan, Gandhara, melaporkan bahwa Taliban menunjuk salah satu anggota seniornya, Maulvi Abdul Kabir, sebagai wakil perdana menteri.
Menurut pemberitaan Gandhara, Taliban juga menunjuk 37 pejabat lainnya yang terdiri dari wakil-wakil menteri dan deputi kepala Palang Merah Afghanistan.
AP melaporkan, sebagian besar posisi itu diisi oleh pejabat tentara dan komandan Kementerian Pertahanan dari berbagai provinsi di Afghanistan, termasuk Kabul, Helmand, Herat, dan Kandahar.
Namun, mayoritas pejabat baru itu berasal dari kelompok Taliban sendiri. Dengan laporan ini, janji Taliban untuk membentuk pemerintahan yang lebih inklusif kembali dipertanyakan.
Saat ini, dunia tengah mengamati gerak-gerik Taliban dalam membentuk pemerintahan di Afghanistan, sesuai janjinya untuk lebih inklusif atau tidak.
Kala merebut kekuasaan pada pertengahan Agustus lalu, Taliban mengklaim bakal lebih inklusif dan merangkul perempuan. Namun, semua pejabat yang mereka tunjuk kemudian tak mencerminkan keberagaman di Afghanistan.
Para pejabat kebanyakan dari Pashtun, suku mayoritas di Afghanistan. Selain itu, tak ada pula perwakilan pejabat perempuan, seperti yang dijanjikan di awal pengambilalihan kekuasaan.
Komitmen Taliban untuk memenuhi janjinya ini dianggap akan sangat berpengaruh terhadap pengakuan negara lain terhadap pemerintahan Afghanistan.
Afghanistan sendiri sangat membutuhkan pengakuan dari dunia, apalagi di tengah krisis ekonomi saat ini. Selama pemerintahan sipil sebelumnya, 75 persen anggaran publik Afghanistan berasal dari bantuan internasional.
Sejak Taliban kembali berkuasa, Amerika Serikat dan sejumlah lembaga internasional membekukan bantuan sehingga memicu krisis di Afghanistan.
(has)