Suara.com – Penelitian terbaru Kaukus Masyarakat Peduli Kesehatan Jiwa menyebutkan pemilu 2024 meningkatkan risiko 3 kali lipat depresi dan kecemasan atau anxiety karena alami tekanan diri sendiri, perbedaan pilihan politik, hingga paksaan memilih calon tertentu.
Ketua Tim Peneliti dan Inisiator Kaukus, Dr. dr. Ray Wagiu Basrowi, MKK, FRSPH, memaparkan pemilu 2024 berhubungan erat dengan meningkatnya kasus depresi 17 persen dan anxiety 16 persen. Presentase ini menunjukan kondisi depresi dan anxiety berada di kategori sedang-berat.
“Kecemasan dan depresi pemilu 2024 punya hubungan erat dan bermakna pada orang yang alami kecemasan di Indonesia. Ini karena ada konflik akibat pemilu dan risiko pemilu memicu konflik 3 kali lebih besar, meningkatkan risiko kecemasan (anxiety) 3 kali lipat. Lalu potensi depresi karena tekanan saat proses pemilu itu risikonya 2,5 hingga 3,3 kali lipat,” ujar Dr. Ray saat konferensi pers di Jakarta Selatan, Rabu (28/2/2024).
Depresi adalah gangguan suasana hati atau mood yang ditandai dengan perasaan sedih yang mendalam dan kehilangan minat terhadap hal-hal yang disukai. Seseorang dinyatakan mengalami depresi jika sudah 2 minggu merasa sedih, putus harapan, atau tidak berharga
Sedangkan kecemasan atau anxiety adalah hal yang normal dirasakan ketika seseorang menghadapi situasi atau mendengar berita yang menimbulkan rasa takut atau khawatir. Namun, anxiety perlu diwaspadai jika muncul tanpa sebab atau sulit dikendalikan, karena bisa jadi hal tersebut disebabkan oleh gangguan kecemasan.
Studi observasional terkait Kesehatan Jiwa dan Pemilu yang dilakukan secara online terhadap 1.077 responden tepat satu jam setelah tempat pemungutan suara (TPS) ditutup ini juga mengungkap sederet tekanan yang dialami pemilih hingga alami depresi dan anxiety, yaitu konflik dengan diri sendiri karena harus membuat keputusan memilih salah satu calon.
Lalu ada juga tekanan dari luar, yaitu perbedaan politik dengan keluarga, rekan kerja, hingga desakan tim kampanye (timses) salah satu calon. Terakhir yaitu tekanan berupa ajakan, seruan, hingga paksaan memilih salah satu calon tertentu yang lagi-lagi pelaku utamanya keluarga, rekan kerja, hingga desakan timses.
Penelitian dengan 77 persen responden perempuan, khususnya ibu rumah tangga ini juga dibandingkan dengan data hasil Riskesdas 2018 dan Direktorat Keswa Kemenkes 2022. Hasilnya ditemukan prevalensi depresi dan anxiety setelah pemilu 2024 cenderung lebih tinggi dari data yang dibandingkan.
Menurut Dr. Ray, data sebelum pemilu menunjukkan angka depresi sedang-berat 6 persen dan gangguan emosi termasuk ansietas sedang dan berat 9,8 persen.
“Jadi terlihat memang meningkat bila dibandingkan temuan kami yang dilakukan tepat sesaat setelah hari pencoblosan, yaitu antara 14 hingga 16 Februari 2024. Dan terlihat bahwa risikonya pun semua terkait dengan persepsi kesehatan jiwa yang berhubungan dengan proses partisipasi pemilu,” ungkap Dr. Ray yang juga merupakan Ketua Health Collaborative Center (HCC) itu.
Dalam pemaparan hasil studi itu, tim peneliti dan inisiator Kaukus yang terdiri dari Dr. dr. Ray Wagiu Basrowi, Prof. Dr. dr. Nila F Moeloek, Prof. Dr. Tjhin Wiguna, dan Kristin Samah ini menjelaskan secara metodologis survei ini memiliki tingkat keppercayaan sebesar 95 persen dan margin of error 2 persen, sehingga bisa dikatakan kredibel dan mewakili kondisi di masyarakat Indonesia.
“Temuan ini menunjukkan bahwa perlu ada intervensi dan mitigasi khusus di masyarakat. Orientasinya adalah mencegah supaya kecemasan dan depresi tidak memberat. Karena kita ketahui ansietas dan depresi ini adalah pintu masuk untuk gangguan jiwa serius bahkan bisa fatal, jadi dicegah,” ungkap Menteri Kesehatan RI 2014-2019, Prof. Nila F Moeloek sekaligus inisiator kaukus tersebut.
Lebih lanjut tim peneliti Kaukus Masyarakat Peduli Kesehatan Jiwa merekomendasikan agar pemerintah dan segenap komponen masyarakat perlu menjadikan suasana komunitas untuk tidak berlarut-larut membahas aspek konflik dan perbedaan politik pasca pemilu.
Sebaliknya, perlu ada sudut pandang positif agar situasi pasca pemilu menjadi nyaman. Kaukus juga merekomendasikan penting adanya penguatan akses pelayanan kesehatan jiwa di tingkat komunitas dan layanan primer, termasuk membuka potensi konseling di puskesmas.
Survei hubungan kesehatan jiwa dengan pemilu 2024 ini menggunakan metode observasional kuantitatif dengan design cross sectional. Instrumen yang digunakan adalah kuesioner GAD-7 dan PHQ-9 untuk mengukur status kesehatan jiwa. Kuesioner dilengkapi dengan modifikasi peneliti untuk mengukur persepsi tentang pemilu dan status demografi.
Selain menemukan tingkat depresi dan ansietas, studi ini juga menemukan bahwa pemilu 2024 berhubungan erat dengan munculnya konflik diri, konflik external dan tekanan pihak lain dalam membuat pilihan.
Aspek konflik dengan pihak lain terbutki berpotensi menimbulkan depresi sedang-berat pada 31,3 persen responden dengan tingkat risiko 2,5 kali lipat. Sementara itu 4 dari 10 responden mengaku mendapat tekanan ketika harus memilih calon tertentu, dan akibatnya berisiko depresi sedang-berat hingga 3,3 kali lebih besar.
Studi juga menemukan sebanyak 40 persen responden mengalami depresi sedang-berat akibat tekanan dalam memilih calon tertentu dengan tingkat risiko hingga 3,3 kali lipat. Sehingga temuan ini penting ditindaklanjuti dengan menggali akar dan sumber konflik yang lahir dari proses pemilu 2024.