Junta militer Myanmar telah menjatuhkan hukuman mati terhadap lebih dari 100 orang di wilayah Yangon sejak mereka melakukan kudeta pada 1 Februari 2021.
Radio Free Asia (RFA) melaporkan, orang-orang tersebut tidak diberikan hak untuk membela diri. Dari 101 orang yang tercatat oleh RFA, 50 orang di antaranya dihukum di pengadilan militer rahasia.
Mereka tidak memiliki akses untuk mendapatkan perwakilan hukum. Sementara itu, sisanya dihukum secara in absentia.
Kebanyakan orang yang dihukum berasal dari wilayah Okkalapa Utara, Dagon Selatan, Dagon Utara, Hlaingtharyar, Pelabuhan Dagon, dan Shwepyithar.
Dua figur ternama yang kini terancam hukuman mati adalah seorang anggota parlemen dari partai Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD), Phyo Zeyar Thaw, dan aktivis Ko Jimmy selaku kepala kelompok Murid Generasi 88.
Menurut pengumuman dari pihak junta pada 21 Januari, keduanya didakwa karena melanggar Undang-Undang Anti-terorisme.
Istri Ko Jimmy yang juga merupakan anggota kelompok Generasi 88, Nila Thein, mengaku tak akan menerima dakwaan junta terhadap suaminya. Thein juga bersumpah akan terus berjuang demi demokrasi.
Bo Bo Oo, mantan anggota parlemen NLD dari wilayah Dallah, Yangon, mengatakan kepada RFA bahwa kedua pria ini tak hanya didakwa tanpa perwakilan hukum, tetapi juga mengalami penyiksaan.
“Kami dapat mengatakan mereka adalah dua kasus terburuk penangkapan sewenang-wenang dan penyiksaan terhadap warga sipil di negara ini sejak kudeta,” katanya.
Ia kemudian berkata, “Kedua orang ini mendapatkan vonis maksimum. Dengan memperhatikan secara dekat foto keduanya (yang dirilis junta), kami bisa menduga mereka disiksa dengan kejam selama interogasi.”
Seorang pengacara pengadilan tinggi di Yangon menilai militer Myanmar berupaya menakut-nakuti publik dengan ancaman eksekusi mati.
“Tak ada keadilan dan kebebasan dalam peradilan mereka, jadi saya tidak akan membenarkan vonis mereka. Tidak ada eksekusi sejak kudeta militer (terakhir) di 1988. Pihak junta mencoba mengintimidasi masyarakat,” katanya.
Sementara itu, Aung Myo Min selaku Menteri Hak Asasi Manusia untuk pemerintah bayangan Myanmar, Pemerintah Persatuan Nasional (NUG), menilai hukuman mati tersebut merupakan pelanggaran hak asasi manusia yang serius.
“(Hukuman mati) adalah prosedur legal yang harus disetujui oleh presiden dan dakwaan saat ini bahkan tidak sesuai dengan hukum negara,” ujar Myo Min.
“Mereka menangkap orang sesuka mereka dan kemudian menjatuhi hukuman mati, dan ini merupakan (pelanggaran hukum Myanmar) yang sangat serius.”
Menteri Pertahanan NUG, Naing Htoo Aung, juga menilai hukuman mati yang dijatuhi junta tak dapat diterima.
“Masyarakat Myanmar dan seluruh dunia mengerti situasi sebenarnya. Seluruh proses (hukum) tidak adil,” tutur Aung.
Sementara itu, Wakil Menteri Informasi rezim junta, Zaw Min Tun, tidak merespons kala dihubungi RFA.
Situasi di Myanmar ini menyedot perhatian berbagai negara. Awal pekan ini, Kedutaan Besar Swedia mengeluarkan pernyataan yang mendesak junta menghapus hukuman mati di Myanmar. Kedutaan juga meminta pihak junta memberikan pembebasan tanpa syarat untuk seluruh tahanan politik.
Menurut Asosiasi Bantuan Tahanan Politik, sebanyak 8.800 warga telah ditangkap dan hampir 1.500 orang dibunuh sejak kudeta militer pada 1 Februari 2021.
Akibat kudeta ini, Myanmar kacau balau. Bentrok antara pasukan junta dan kelompok masyarakat sipil terus terjadi, mengakibatkan banyak korban jiwa dan kerusakan di berbagai tempat.
(pwn/has/bac)