Suara.com – Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) mendesak pemerintah, DPR RI dan lembaga terkait membatalkan proyek strategis nasional atau PSN yang terbukti merugikan rakyat hingga memicu praktik kekerasan dan pelanggaran HAM. Desakan ini disampaikan bertepatan dengan Peringatan Hari Tani Nasional yang jatuh pada Minggu (24/9/2023) hari ini.
Ketua YLBHI Muhammad Isnur menyebut proyek-proyek strategis nasional (PSN) dan pengelolaan Sumber Daya Alam (SDA) telah menimbulkan dampak ketidakadilan dan penindasan terhadap rakyat. Selain juga telah memicu terjadinya kerusakan alam dan konflik-konflik.
“Dalam memenuhi ambisi proyek-proyek ini negara melakukan serangkaian tindakan represif dan penggunaan kekuatan yang berlebihan (excessive use of force) kepada warga yang mempertahankan tanah, air dan ruang hidupnya melalui aparat negara yakni TNI dan Polri. YLBHI menemukan angka yang sangat tinggi di mana para petani, masyarakat adat, pembela hak asasi manusia dan pejuang lingkungan mengalami kekerasan fisik, non-fisik, dan kriminalisasi,” kata Isnur dalam keterangannya kepada Suara.com, Minggu (24/9/2023).
Isnur mengungkap deretan konflik agraria disertai kekerasan yang dilakukan aparat negara terhadap rakyat disebabkan oleh paradigma pembangunan yang berorientasi pada keuntungan ekonomi bukan berbasis hak. Kemudian pemerintah juga melegalkan perampasan-perampasan tanah rakyat atas nama Hak Pengelolaan atau klaim tanah negara.
“Pembangunan-pembangunan ini sarat akan konflik kepentingan bisnis dan politik juga penyelesaian konflik menggunakan pendekatan keamanan dan kekerasan,” jelasnya.
Sejauh ini, kata Isnur, YLBHI dan LBH di seluruh Indonesia telah menangani 106 konflik agraria dan PSN. Adapun luas wilayah yang berkonflik mencapai ±800.000 hektare dengan lebih dari satu juta rakyat menjadi korban.
Isnur mengemukakan sektor perkebunan mendominasi dengan 42 kasus, diikuti sektor pertambangan dengan 37 kasus dan konflik PSN 35 kasus. Tingginya konflik di sektor perkebunan disebabkan dua faktor, yakni warisan ketimpangan penguasaan lahan yang tidak pernah terselesaikan dan melibatkan dua aktor yang kuat; negara melalui perkebunan PTPN dan swasta memiliki HGU skala luas.
“Sementara itu, sektor PSN yang baru muncul tujuh tahun terakhir menempati posisi ketiga karena negara beserta kekuatan represif tampil sebagai pemain utama dalam konflik,” imbuhnya.
YLBHI juga memetakan berbagai subjek pelaku dalam konflik-konflik tersebut. Setidaknya, perusahaan swasta terlibat dalam 100 konflik, pemerintah daerah terlibat dalam 74 konflik, dan Polri terlibat dalam 50 konflik.
Baca Juga:Buku “Media dan Komunikasi Bencana”, Potret dan Model Analisis Pemberitaan
“Dari segi perbuatan, tercatat sebanyak 134 tindak kekerasan dengan pola yang berbeda,” bebernya.
Pola yang paling banyak terjadi yakni pola kekerasan baik dalam bentuk lisan seperti intimidasi dan bentuk fisik berupa penganiayaan. Pola ini tercatat terjadi sebanyak 48 kasus; 40 intimidasi dan 8 kekerasan fisik. Selanjutnya pola pecah belah 43 kasus. Ketiga pola kriminalisasi 43 kasus.
“Dari 43 kasus kriminalisasi, terdapat 212 orang petani yang menjadi korban. Upaya kriminalisasi paling banyak menggunakan produk hukum Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dengan 29 kasus. Kemudian diikuti oleh UU Minerba dengan 7 kasus, UU 39 Tahun 2014 dengan 4 kasus. UU No 18 Tahun 2013 dengan 3 kasus. UU ITE 2 kasus dan UU Anti Marxisme-Leninisme dengan 1 kasus,” pungkasnya.