Suara.com – Gerakan Alumni 212 berencana untuk kembali menggelar reuni pada 2 Desember mendatang, meski dinilai sudah tak sekuat dahulu.
Rencana reuni ini dipandang para pengamat politik sebagai upaya mempertahankan eksistensi, yang berpotensi dimanfaatkan untuk kepentingan aktor-aktor politik pada Pemilu 2024.
Wakil Sekjen Persaudaraan Alumni 212 (PA 212), Novel Bamukmin, mengatakan ada tiga tuntutan utama yang akan disuarakan dalam reuni bulan depan: bebaskan Rizieq Shihab dari penjara, usut tuntas penembakan enam anggota laskar FPI, dan bebaskan para ulama yang baru-baru ini ditangkap.
Kepada BBC News Indonesia, Novel mengaku yakin isu-isu tersebut bisa menarik massa “karena mereka sudah rindu untuk berjuang”.
Baca Juga:
Seorang Remaja di Batam Bantu Seludupkan TKI Ilegal ke Malaysia
Baca juga:
Rizieq Shihab divonis hukuman penjara selama empat tahun oleh Pengadilan Negeri Jakarta Timur, Mei 2021 lalu, setelah dinyatakan bersalah melakukan tindak pidana turut serta melakukan penyiaran berita bohong dan menimbulkan keonaran dalam kasus tes usap di RS Ummi Bogor. Salah satu tokoh sentral di gerakan 212 itu kemudian mengajukan banding ke MA, dan masa hukumannya dikurangi menjadi dua tahun.
Para pendukung gerakan 212 mengklaim hukuman tersebut didasari motif politik. Mereka juga menuduh penangkapan beberapa sosok ulama – termasuk seorang anggota Komisi Fatwa MUI – oleh Densus 88 sebagai bentuk “kriminalisasi”.
Novel membantah bahwa reuni bulan depan merupakan ajang penggalangan dukungan untuk sosok tertentu pada Pemilu 2024. Menurutnya saat ini gerakan 212 belum punya gambaran mengenai sosok yang sesuai dengan kriteria mereka.
Namun, ia tidak menutup kemungkinan hal itu akan dilakukan di masa depan.
Baca Juga:
Polda Metro Belum Beri Izin Reuni 212 karena Tak Ada Surat Rekomendasi Satgas COVID-19
“Masih banyak bergulir untuk si orang-orang ini untuk masuk daftar sesuai dengan cita-cita kita, visi-misi kita 2023 saja kita tidak bisa tentuin.
“Kita belum tentu punya. Nanti pada waktunya, 2024 awal baru nanti kita akan punya informasi yang fix untuk siapa yang kita dukung nanti,” ia menjelaskan.
Selama ini, dukungan dari gerakan 212 cenderung mengalir ke sosok-sosok yang diusung Partai Gerindra seperti Prabowo dan Anies Baswedan.
Ketika ditanya seberapa penting dukungan dari gerakan 212 saat ini, juru bicara partai Gerindra Habiburokhman memberi jawaban normatif.
“Kalau bagi Gerindra, dukungan semua elemen masyarakat – agama apapun, ormas apapun – sangat penting. Kita kan parpol, parpol mencari konstituen,” ujarnya.
Gerakan 212 masih punya kekuatan politik?
Meski tidak menyatakan diri sebagai gerakan politik, aksi reuni 212 beberapa kali digelar pada waktu yang berdekatan dengan pemilihan umum. Gerakan ini juga cenderung mendukung atau menguntungkan calon tertentu.
Aksi 212 pertama kali diselenggarakan pada 2 Desember 2016 untuk menggugat Gubernur DKI Jakarta saat itu, Basuki Tjahaja Poernama (Ahok) dengan penistaan agama. Dari aksi tersebut kemudian berkembang kampanye “jangan memilih pemimpin non-Muslim” yang menguntungkan lawan-lawan Ahok dalam Pilkada 2017.
Reuni pada 2018 dihadiri oleh Prabowo yang mencalonkan diri dalam Pilpres 2019. Dalam reuni tersebut disuarakan dukungan terhadap Prabowo, dengan Rizieq Shihab – yang waktu itu masih di Arab Saudi – menyerukan “2019 ganti presiden”.
Dan dalam reuni tahun 2019, dilaporkan ada pernyataan dukungan kepada Anies Baswedan untuk mencalonkan diri di pemilu 2024 – kendati Novel Bamukmin membantahnya dan mengatakan bila dukungan itu ada, itu merupakan pendapat pribadi dan tidak mewakili PA 212.
Namun, dalam beberapa tahun terakhir gerakan ini kehilangan tokoh-tokoh sentralnya. Prabowo akhirnya bergabung dengan pemerintahan, Rizieq Shihab dipenjara, dan beberapa petingginya terjerat kasus hukum.
Ketiadaan tokoh yang menjadi simbol gerakan membuat 212 saat ini tak lagi sekuat dahulu, kata pengamat politik Islam dari Universitas Indonesia, Hurriyah.
“Ada faktor figur yang menurut saya akan menentukan. Bukan hanya figurnya tapi bagaimana figur tersebut juga mampu mem-frame, menciptakan isu yang kemudian menjadi isu bersama,” ujarnya.
Hurriyah menjelaskan, pada 2016 silam ada isu yang menyentuh identitas bersama dan mampu mengumpulkan dukungan dari berbagai elemen Muslim – tidak hanya kelompok garis keras, tapi juga kelompok moderat dan warga biasa.
“Sekarang ini apa bisa seperti itu atau tidak, kita perlu melihat lagi nantinya. Isu ini kan bisa berubah-ubah. Boleh jadi misalnya, momentum saat ini diciptakan mungkin ‘bela ulama’ karena MUI sedang diterpa isu karena keterlibatan salah satu tokohnya,” kata Hurriyah.
Potensi dimanfaatkan aktor politik
Bagaimanapun, gerakan 212 harus terus mengadakan reuni untuk terus mempertahankan eksistensi mereka, menurut pengamat politik dari Network for Indonesia Democratic Society (Netfid), Dahliah Umar.
Dahliah memandang gerakan 212 tidak merupakan gerakan Islam semata tetapi juga gerakan politik. Mereka akan tetap menjadi massa mengambang yang berpotensi dimanfaatkan oleh aktor-aktor politik pada Pemilu 2024 mendatang.
“Yang mereka perjuangkan mungkin Islam, tapi di balik itu selalu ada potensi sebenarnya mereka komoditas yang bisa digunakan oleh siapapun; dan walaupun sekarang belum terlihat mereka akan tetap mempertahankan eksistensi itu untuk kemudian bisa menjadi nilai tawar bagi tokoh politik manapun nantinya yang membutuhkan simpati dari kelompok Islam,” ujarnya kepada BBC News Indonesia.
Bagaimanapun, massa 212 bukanlah orang-orang yang anti-partai politik. Berbagai survei menunjukkan bahwa mereka berpartisipasi dalam pemilu dan memberikan suara ke partai politik.
Kendati demikian, Dahliah menambahkan, masih ada ormas-ormas Islam besar dengan banyak pengikut seperti Muhammadiyah dan NU yang dapat mengimbangi gerakan 212.
“Mereka kan tetap memiliki massa yang jelas, massa yang besar, dan secara terstruktur juga lebih tertata rapi. Nah itu yang menurut saya bisa mengimbangi gerakan-gerakan yang taktis seperti ini,” kata Dahliah.
Novel Bamukmin dari PA 212 membantah kritik tersebut, dan mengatakan bahwa kelompoknya tidak berfokus pada satu sosok tertentu atau membela satu kelompok tertentu.
“Yang pasti kita berangkat dari awal adalah, 2016 fokus bela agama. Dan sampai saat ini itu nggak pernah berubah,” ujarnya.