Remisi, Tren Vonis Rendah, dan Ironi Pemberantasan Korupsi

Remisi, Tren Vonis Rendah, dan Ironi Pemberantasan Korupsi

Jakarta, CNN Indonesia —

Direktorat Jenderal Pemasyarakatan (Ditjen PAS) Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) memberikan remisi terhadap 214 narapidana kasus korupsi.

Remisi diberikan bertepatan dengan momen perayaan kemerdekaan RI yang ke-76 tahun.

Dari jumlah penerima remisi itu, 210 narapidana korupsi mendapat jatah remisi umum I atau pengurangan masa tahanan. Kemudian ada 4 narapidana korupsi mendapat remisi umum II sehingga dinyatakan bebas.

Sejumlah nama dengan kasus-kasus yang jadi sorotan publik, turut mendapatkan remisi, seperti mereka yang terlibat dalam kasus megakorupsi E-KTP hingga kasus Djoko Tjandra. Dalam hal ini, Djoko Tjandra yang merupakan terpidana kasus hak tagih (cessie) Bank Bali setelah buron 11 tahun itu mendapatkan remisi 2 bulan.

Mengacu pada Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 99 Tahun 2012 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan, syarat narapidana korupsi mendapat remisi yakni salah satunya telah ditetapkan sebagai saksi pelaku yang bekerja sama atau Justice Collaborator (JC).

Selain itu, juga telah membayar lunas denda dan uang pengganti sesuai dengan putusan pengadilan.

Pengajar Hukum Tata Negara Universitas Gajah Mada (UGM) Zainal Arifin Mochtar menilai pemberian remisi kepada para koruptor bukan lah hal yang aneh, lantaran di era pemerintahan Jokowi, ia menilai semangat pemberantasan korupsi telah jauh melemah.

“Semenjak di zaman Jokowi belakangan ini kan memang semangat pemberantasan korupsi jauh melemah. Khususnya 2-3 tahun belakangan,” kata Zainal saat dihubungi CNNIndonesia.com, Jumat (19/8).

Pernyataan itu berkaca dari sejumlah tindakan rezim Jokowi yang menurutnya tidak pernah membela agenda pemberantasan korupsi. Ia menyoroti ketika Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dilemahkan lewat revisi undang-undang pada 2019. Belum lagi dalam sejumlah pidatonya, Kepala Negara yang kini memasuki masa periode kedua kepresidenannya itu tak pernah menyinggung soal kata korupsi.

“Indeks persepsi korupsi kita juga jeblok. Terjadi penurunan paling buruk sepanjang sejarah Indonesia. Harus kita akui dan jangan-jangan memang presiden tidak menaruh perhatian terhadap korupsi,” kata Zainal.

Zainal menyatakan memang remisi adalah hak bagi narapidana, namun seharusnya ada kontrol yang lebih ketat dalam pemberiannya.

Khusus bagi narapidana korupsi, ia menyoroti soal banyaknya pemberian remisi, tetapi syarat Justice Collaborator (JC) tidak dipenuhi. Terpidana itu dapat remisi justru dengan ukuran lain seperti berkelakuan baik dan sudah menjalani 1/3 (satu per tiga) masa pidana.

“Banyak sekali enggak JC, dia kemudian dapat. Artinya harus dibuat lebih selektif. Itu kalau dianggap korupsi kejahatan luar biasa. Yang saya khawatir kalau negara sudah menganggap itu biasa-biasa saja, sama dengan kejahatan biasa,” katanya.

[Gambas:Video CNN]

Dihubungi terpisah, Peneliti Transparency International Indonesia (TII) Alvin Nicola mengatakan United Nations Convention Against Corruption (UNCAC) telah mengklasifikasikan korupsi sebagai kejahatan HAM atau kejahatan terhadap kemanusiaan.

“Sehingga pemidanaan yang maksimal semestinya diberikan kepada pelakunya, tanpa remisi,” katanya.

Ia mengatakan meski remisi merupakan hak terpidana, pemberiannya tetap memerlukan kebijakan negara.

Hal itu berarti, negara bisa memberikan, tetapi juga boleh membatasinya dengan klausul yang ditentukan.

“Hak-hak koruptor secara yuridis adalah hak yang bisa dibatasi, bahkan juga tersurat dalam undang-undang pemasyarakatan. Jadi hemat saya, masih diberikannya remisi terhadap koruptor juga mengindikasikan minimnya komitmen politik pemerintah terhadap pemberantasan korupsi,” katanya.


Tren Tuntutan, Vonis, Hingga Remisi Mengerdilkan Pemberantasan Korupsi


BACA HALAMAN BERIKUTNYA


Scroll to Top