Jakarta, CNN Indonesia —
Pemerintah Amerika Serikat disebut “muka dua”, gara-gara mengirimkan sistem antirudal ke Israel bersamaan dengan pernyataan bahwa mereka akan menyetop bantuan militer ke negara Zionis tersebut.
AS sebelumnya mengatakan akan menyetop bantuan militer ke Israel, sebagai bentuk kepatuhan terhadap hukum AS yang melarang dukungan militer terhadap negara-negara yang menghalangi bantuan kemanusiaan, seperti agresi Israel ke Gaza.
Pengumuman AS soal pengerahan pasukan ke Israel, dan pernyataan pada hari yang sama bahwa Israel harus memperbaiki situasi kemanusiaan di Gaza, menandakan pendekatan yang “tidak konsisten” dari sebuah pemerintahan.
Juru bicara Kementerian Luar Negeri AS, Matthew Miller, menolak mengungkapkan apa konsekuensi jika Israel gagal mematuhi permintaan AS soal perbaikan situasi di Gaza.
“Saya tidak akan berbicara mengenai hal itu hari ini,” kata Miller, dalam pernyataannya beberapa waktu lalu.
Dalam surat pribadi pada Selasa (15/10) kemarin, Menteri Luar Negeri AS Antony Blinken dan Menteri Pertahanan Lloyd Austin, mendesak Menteri Pertahanan Israel Yoav Gallant dan Menteri Urusan Strategis Ron Dermer, untuk menerapkan serangkaian “tindakan konkret” dengan batas waktu 30 hari untuk membalikkan situasi kemanusiaan yang memburuk di Gaza.
AS sebelumnya sempat menghentikan pengiriman ribuan bom ke Israel awal tahun ini, karena militer Zionis berencana memperluas operasi mereka di Gaza selatan.
Namun AS lagi-lagi melanjutkan dan terus memasok senjata ke Israel, bahkan ketika negara itu meningkatkan serangannya di Gaza dan Lebanon.
“Surat yang ditandatangani bersama oleh Menlu dan Menhan mengindikasikan adanya peningkatan kekhawatiran dan ancaman di sini, terlepas dari apakah pemerintah melaksanakannya atau tidak,” kata eks penasihat hukum Kemlu AS,Brian Finucane.
“Penting untuk dicatat bahwa ada standar hukum selama konflik ini berlangsung, dan pemerintah Biden belum menegakkannya. Mungkin situasinya sangat buruk di Gaza utara sehingga perhitungan politik telah berubah, dan mereka mungkin akhirnya memutuskan untuk menerapkan hukum AS,” imbuh Finucane, yang juga penasihat senior program AS di International Crisis Group.
Ancaman AS ke Israel juga jadi pertanyaan. Pengerahan pasukan ke Israel justru mengirim pesan yang jauh lebih konkret tentang dukungan berkelanjutan AS, tidak peduli seberapa buruk situasi keamanannya.
Direktur Asosiasi Kebijakan di Center for Constitutional Rights, Brad Parker, mengatakan pengerahan pasukan ini semakin mendorong AS ke dalam perang, sementara para pejabat AS terus mengumbar janji-janji manis soal diplomasi.
“Daripada memaksakan de-eskalasi atau bertindak untuk mengendalikan pejabat Israel, Presiden Biden justru menggandakan upaya untuk meyakinkan para pemimpin Israel bahwa dia mendukung mereka,” ujar Parker.
“Semua warga AS seharusnya marah karena presiden yang tidak berdaya ini berpegang teguh pada interpretasi hukum yang sempit, yang bertentangan dengan tujuan hukum AS yang berlaku saat ini, untuk membenarkan pengerahan besar-besaran pasukan AS ke dalam konflik regional,” kata dia.
Ini bukan kali pertama AS meremehkan kewajiban hukumnya saat terlibat dalam konflik di luar negeri AS juga pernah ikut memerangi pemberontak Houthi di Yaman tanpa persetujuan Kongres.
(dna/bac)