Inspektur Jenderal Kementerian Pertanian (Kementan) Bambang Pamuji mengatakan keterbatasan incinerator atau alat pembakaran membuat pemusnahan jahe impor terganjal. Jahe impor tersebut harus dimusnahkan karena terkontaminasi tanah yang berpotensi membawa penyakit berjalan lambat.
Data Badan Karantina Pertanian (Barantan) Kementan menyebut ada 13 kontainer berisi ratusan ton jahe impor yang belum dimusnahkan di kawasan pabean atawa cross border Jawa Timur (Jatim).
Rinciannya, 9 kontainer milik PT Indopak Trading dengan volume sekitar 234 ton, satu kontainer milik PT Mahan Indo Global dengan volume 27 ton, dan 1 kontainer milik CV Putra Jaya Abadi dengan volume 27,9 ton.
Menurut Bambang, pengadaan incinerator sebenarnya sudah diajukan Kementan sejak 2019. Namun karena realokasi dan refocusing anggaran untuk penanganan pandemi covid-19 pengadaan tersebut dibatalkan.
“Setahu saya keterbatasan incinerator lah yang membuat Barantan belum melakukan itu, dan ini juga mungkin adalah bagian kesulitan kita, sekaligus kami memohon dukungan sekiranya memungkinkan untuk diadakan incinerator ini,” ujarnya di Komisi IV DPR, Rabu (31/3).
Dalam kesempatan yang sama, Kepala Barantan Kementan Ali Jamil menuturkan incinerator yang ada di Jatim hanya mampu membakar 2 ton jahe sehari.
Karena itu, pihaknya menawarkan alternatif lain untuk memusnahkan jahe-jahe impor bercampur tanah tersebut. Jahe impor milik PT Indopak, misalnya, diusulkan agar dihancurkan dengan cara memanaskan jahe-jahe tersebut di mesin pemanas kayu milik 2 perusahaan di Jatim.
Nantinya, dengan mesin pemanas itu, organisme pengganggu tumbuhan karantina (OPTK) yang ada di dalam tanah dari jahe tersebut bisa mati. Setelahnya jahe-jahe tersebut kemudian akan ditimbun ke dalam tanah.
“Kemarin mengunjungi ke PT BMR di Gresik dan PT Sari di Pasuruan. Kami minta untuk menggunakan fasilitas pemanas kayu, kita sudah gunakan alat itu. Pagi tadi sudah masuk 2 kontainer ke PT BMR untuk mematikan OPTK yang dicurigai ada di dalam tanah jahenya,” tandas Ali.
(hrf/bir)