Pemerintah Diimbau Beri Insentif Bagi Pengguna PLTS

Pemerintah Diimbau Beri Insentif Bagi Pengguna PLTS

Papua Barat, CNN Indonesia —

Pengamat Energi dari Indonesia Solar Energy Association (ISEA) Fabby Tumiwa mengimbau pemerintah untuk memberikan insentif bagi masyarakat pengguna Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS). Insentif, salah satunya bisa berupa kredit ringan untuk rumah tangga membangun PLTS.

Sebab, modal PLTS rumah tangga diperkirakan mencapai Rp50 juta. “Kalau langsung semua berat, Rp50 juta di awal. Kalau ada skema cicilan tetap dalam waktu di atas 5-7 tahun, mereka pasti mau,” katanya di sela-sela acara Huawei Indonesia Media Camp di Raja Ampat, Papua Barat, Rabu (24/11).

Berdasarkan informasi yang dikantonginya, 9-11 persen rumah tangga di Indonesia atau sebanyak 7 juta-8 juta rumah tangga menginginkan pemasangan energi surya.

Memang, lanjut dia, perbankan bersedia memberikan cicilan PLTS, namun besaran suku bunga kreditnya di atas 1,1 persen per bulan atau 13,2 persen per tahun.

Fabby mengusulkan skema cicilan yang lebih murah, seperti Kredit Usaha Rakyat (KUR), di mana suku bunga yang dipatok berkisar 7 persen per tahun atau 0,41 persen bulan.

Di sisi lain, PT PLN (Persero) juga didorong untuk mempermudah izin industri yang menggunakan energi berbasis matahari. Bukan mempersulit izinnya. Saat ini, biaya PLTS industri justru bengkak.

Pembengkakan biaya terkait syarat pemasangan PLTS yang mewajibkan peningkatan status menjadi pelanggan premium, yang notabene tarif listriknya lebih mahal. “Sehingga, tidak mengurangi (ongkos produksi),” jelasnya.

Mengutip Pasal 20 Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Nomor 26 Tahun 2021 tentang Pembangkit Listrik Tenaga Surya Atap, sistem PLTS Atap yang dibangun dan dipasang oleh Pelanggan PLTS Atap dari golongan tarif untuk keperluan industri, dikenai biaya kapasitas.

Besaran biaya yang dibayarkan per bulannnya dihitung berdasarkan kapasitas total inverter dalam satuan kilowatt (kW) dikali waktu 5 (lima) jam dikali tarif tenaga listrik.

Fabby menyatakan industri pada prinsipnya ingin ada penurunan biaya produksi. PLTS semestinya bisa memenuhi hal tersebut andai kata izinnya tak dipersulit.

“Biaya listrik 10-20 persen, bergantung industrinya. Mereka bisa mengurangi 15 persen dari 10 persen (biaya listrik) aja, kan ada 1,5-3 persen production cost-nya berkurang. Itu kan lumayan. Mereka bisa lebih kompetitif,” terang dia.

Selain itu, keuntungan penggunaan PLTS bagi industri adalah kemudahan akses ke pasar Eropa dan Amerika yang kerap menelisik rekam jejak karbon perusahaan.

“Itu menjadi penting karena untuk masuk ke pasar-pasar di Eropa dan Amerika itu sudah jadi pertimbangan. Negara-negara itu sudah ada (pertimbangan) berapa carbon intensity,” terang Fabby.

Dorongan insentif dan kemudahan izin itu dikatakannya terkait rencana ‘mempensiunkan’ 1 Giga Watt (GW) Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) hingga 2030, mengacu rencana PLN atau bahkan menghemat 5,5 GW seperti yang diucapkan oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani.

Menurut IESR, kebutuhan listrik itu bisa diisi oleh PLTS yang punya potensi 3,4 Terrawatt peak (TWp) hingga 20 TWp atau 12 kali hingga 74 kali lebih tinggi dibandingkan yang disampaikan pemerintah.

Diketahui, ESDM Arifin Tasrif menyebut pihaknya berkomitmen menuju nol emisi sampai 2060.

Strateginya, meningkatkan pengembangan semua pembangkit energi baru terbarukan (EBT). Adapun, salah satu yang menjadi prioritas adalah pembangkit listrik tenaga surya (PLTS).

“Di sektor rumah tangga mendorong pemanfaatan kompor listrik, pengurangan impor LPG secara bertahap, di sektor transportasi pemanfaatan kendaraan bermotor listrik berbasis baterai, serta pengembangan interkoneksi, smart grid, smart meter, dan jaringan gas bumi,” jelas Arifin, dalam The 10th Indo EBTKE ConEx 2021, Senin (22/11).

[Gambas:Video CNN]

(arh/bir)


Scroll to Top