Suara.com – Isu kesehatan mental pada anak seringkali dianggap remeh dan tidak dianggap serius. Padahal dampak masalah kesehatan mental pada perkembangan anak juga cukup signifikan.
Laporan UNICEF yang berjudul The State of the World’s Children 2021; On My Mind: promoting, protecting, and caring for children’s mental health mengungkap bahwa 1 dari 7 remaja berusia 10-19 tahun menderita penyakit mental, seperti burnout dan rasa cemas atau anxiety.
Hal ini menunjukkan bahwa durasi fokus yang lama atau berkurangnya komunikasi tatap muka karena pandemi dapat memengaruhi keadaan siswa dan guru. Bahkan, sebelum pandemi meningkatkan kesadaran masyarakat akan pentingnya kesehatan mental dan kesejahteraan, dapat dikatakan bahwa baik guru maupun siswa rentan terhadap burnout dan rasa cemas.
“Ketidakpastian di tengah pandemi menjadi salah satu sumber gangguan (pada kesehatan mental). Beberapa siswa sudah menderita rasa cemas yang melelahkan dengan adanya tekanan dari sekolah. Dalam keseharian di sekolah, terdapat juga tuntutan yang perlu mereka penuhi, terutama saat mempersiapkan ujian penting,” ujar Kepala Pengajaran & Pembelajaran, Cambridge Assessment International Education, Paul Ellis, Senin, (23/8/2022).
Baca Juga:
Update Covid-19 Global: Filipina Baru Mulai Sekolah Tatap Muka Untuk Pertama Kalinya Sejak Pandemi
Dalam situasi tersebut, beberapa siswa mungkin merasa takut dengan jenis tes tertentu. Beberapa orang lebih percaya diri terhadap kemampuan akademis, motivasi, dan metode yang mereka gunakan untuk mengatasi situasi stress jika dibandingkan dengan orang lain.
Selain itu, beberapa siswa lebih rentan daripada yang lain terhadap pengaruh guru, orang tua, atau teman sebaya. Pada saat di rumah, orang tua dapat memproyeksikan kecemasan mereka kepada anak, yang dapat mengakibatkan pelimpahan perasaan dan harapan kepada anak. Solusi yang lebih baik adalah guru atau orang tua dapat memotivasi mereka sambil menunjukkan kasih sayang dan pengertian ketika terjadi masa-masa sulit.
Tidak diragukan lagi beberapa masalah kesehatan mental memerlukan bantuan medis profesional, namun, sekolah dapat mempertimbangkan intervensi dini untuk mengurangi kecemasan dalam kehidupan sehari-hari seperti meninjau rutinitas sekolah dan mengevaluasi kembali tekanan pada kinerja siswa dengan memperkenalkan rencana penilaian yang seimbang.
Kinderfield Highfield School Bekasi telah memperkenalkan berbagai cara untuk meningkatkan wellbeing siswa, Ibu Yasmine Hadiastriani, Koordinator Non-Akademik dan Petugas Ujian berbagi pandangannya tentang bagaimana sekolah mendukung keseimbangan bagi murid. Kinderfield Highfield School Bekasi bermitra dengan Cambridge Assessment International Education (CAIE) untuk menerapkan kurikulum yang akuntabel dan terstandarisasi yang menghasilkan kualifikasi yang diakui secara internasional, yaitu Cambridge International General Certificate of Secondary Education (IGCSE).
Pada 2020, Yasmine dan staf lainnya di Kinderfield Highfield School melihat kelelahan yang dialami siswa selama pandemi. Mereka melihat kesempatan bahwa guru dapat berperan untuk membantu siswa untuk mengatasinya. Dengan demikian, sekolah dan guru membentuk program kesehatan mental untuk murid tingkat SMP dan SMA di Kinderfield Highfield School Bekasi.
Baca Juga:
Anak Mau Masuk Sekolah? Pertimbangkan Dulu Beberapa Hal Ini!
Berikut beberapa kegiatan yang diterapkan di Kinderfield Highfield School, Bekasi, yang mungkin bisa menjadi referensi untuk sekolah lain: