Kenapa Angka Kematian China Meroket di Tengah Lonjakan Kasus Omicron?

Kenapa Angka Kematian China Meroket di Tengah Lonjakan Kasus Omicron?

Jakarta, CNN Indonesia

Kasus Covid-19 China belakangan kembali meroket. Lonjakan kasus itu terjadi di tengah pelonggaran kebijakan ketat China sejak 7 Desember lalu.

Sejumlah foto dan video pun beredar di media sosial memperlihatkan rumah sakit di sejumlah kota kewalahan menghadapi masuknya pasien.

Bahkan, foto-foto dan video itu juga menampilkan krematorium dan kamar mayat dengan jenazah yang berjejer karena mengantre untuk dikremasi.

Kasus di China saat ini padahal cuma didominasi oleh virus Omicron, menurut laporan media pemerintah CGTN. Omicron pun selama ini dikenal tidak begitu mematikan.

Lantas kenapa angka kematian di China melonjak padahal didominasi Omicron?

Sejumlah analis menilai pencabutan aturan ketat nol-Covid China menjadi salah satu dalang lonjakan kasus positif hingga kematian negara itu.

Dalam laporannya, Institute of Health Metrics and Evaluation (IHME) mengatakan pencabutan pembatasan nol-Covid menjadi salah satu penyebab kemungkinan satu juta kasus kematian di China terjadi pada 2023.

Lembaga itu menilai puncak kasus bakal dirasakan pada 1 April. Saat itu kasus kematian akibat Covid-19 di China bakal tembus hingga 322 ribu.

Perusahaan analis kesehatan Airfinity bahkan memperkirakan China bakal mengalami lebih dari 5 ribu kasus kematian dalam sehari di tengah lonjakan saat ini.

Pengamat lain dalam jurnal Medrxiv yang rilis pada Rabu (14/12) juga memperkirakan bahwa pencabutan pembatasan di China dan dibukanya kembali semua provinsi secara bersamaan dalam rentang Desember hingga Januari 2023 bakal mengakibatkan sekitar 684 kasus kematian.

Di samping hal itu, lonjakan kasus di China juga terjadi ditengarai karena minimnya tingkat vaksinasi negara itu, khususnya terhadap para lansia selaku kelompok rentan.

Menurut laporan Guardian, China selama ini hanya memprioritaskan vaksin kepada kelompok remaja hingga dewasa. Sebaliknya, kelompok lansia justru kerap mendapat kabar ‘miring’ soal efek samping vaksinasi.

Hingga November 2021, Negara Tirai Bambu tidak menganjurkan vaksinasi kepada golongan usia lanjut. Karenanya ketika mereka diminta vaksin, kelompok lanjut usia tak sudi melakukannya karena terlanjur skeptis.

Berbagai studi juga menyebutkan bahwa banyak orang tak ingin vaksin karena meragukan efektivitas senyawa pembentuk kekebalan tubuh tersebut.

Pada November, pemerintah melaporkan hanya 40 persen orang berusia 80-an tahun yang sudah melakukan vaksin di China. Jutaan orang lainnya belum divaksinasi.

Jika dibandingkan dengan Jepang yang sudah memvaksinasi 90 persen warganya, China dikabarkan baru menyuntik 68 persen populasinya.

(blq/bac)



[Gambas:Video CNN]


Scroll to Top