Jakarta, CNN Indonesia —
Kepemimpinan Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu terancam berakhir setelah gagal membentuk pemerintahan baru.
Padahal, Netanyahu dan partainya, Likud, memenangkan suara mayoritas di pemilihan umum Maret lalu.
Akibat kegagalan itu, Presiden Reuven Rivlin memberi mandat kepada pesaing Netanyahu, Yair Lapid, untuk membentuk kabinet pemerintah baru.
Lapid dan partainya, Yesh Atid, mendapat mayoritas suara kedua terbesar setelah Likud.
Saat ini, Lapid mengklaim berhasil membentuk koalisi untuk menendang Netanyahu dari pucuk kepemimpinan yang dipegang selama 12 tahun terakhir.
Menurut sejumlah pengamat, sebelum pemilu Maret lalu-yang keempat dalam dua tahun terakhir-Netanyahu sebenarnya telah kehilangan mayoritas dukungan dari warga Israel karena berbagai alasan.
Pengamat politik internasional sekaligus Direktur Program Hak Asasi Manusia dari Universitas Denver, Micheline Ishay, mengatakan mayoritas warga Israel bosan dengan pemilihan umum yang tidak meyakinkan.
Selain itu, Ishay menuturkan skandal korupsi yang menjerat Netanyahu, perpecahan partai-partai sayap kanan, dan pandemi virus corona yang berkepanjangan telah membuat kekecewaan warga Israel terhadap perdana menteri terlama itu semakin meluas.
“Popularitas Netanyahu memudar dan warga lelah dengan pemilu yang tidak meyakinkan. Dukungan Likud anjlok dari 36 kursi pada Maret 2020 menjadi 30 kursi pada Maret 2021,” kata Ishay.
Namun, Ishay menuturkan konflik Israel-Palestina kerap menyelamatkan posisi Netanyahu yang terjepit di dalam negeri.
Konflik yang telah berlarut selama puluhan tahun itu kerap mengurangi kebencian publik terhadap Netanyahu bahkan membantunya mempertahankan jabatan perdana menteri selama ini.
Pertempuran terbaru antara Israel dan Hamas di Jalur Gaza, kata Ishay, juga sedikit banyak membantu Netanyahu mempertahankan suara dari para pendukung loyalisnya.
“Popularitasnya tidak diragukan lagi akan meningkat di antara sekelompok warga sebagai akibat dari eskalasi dengan Gaza ini. Di bawah tembakan dan dalam situasi perang, orang cenderung mendukung pemerintah yang berkuasa karena takut akan ancaman roket dan ancaman internal. Dalam hal ini, krisis saat ini memperkuat desain politik Netanyahu,” kata Ishay seperti dikutip Al Jazeera.
“Netanyahu mengizinkan, bahkan memupuk, provokasi domestik melalui inziden di Kahanist, Yerusalem, rencana penggusuran properti warga Palestina di Sheikh Jarrah, pemagaran Gerbang Damaksus saat bulan Ramadan, dan aksi polisi Israel di Masjid Al-Aqsa,” ujarnya menambahkan.
Senada dengan Ishay, editor isu internasional New York Times, Roger Cohen, juga menganggap bahwa Netanyahu kerap memanfaatkan krisis Israel dan Palestina untuk menegaskan sentralitasnya pada rakyat.
“Pesannya sangat kuat, bahwa dia tetap menjadi satu-satunya penjamin keamanan Israel terhadap ancaman dari Hamas di Gaza, dari Iran, hingga Libanon. Bahwa hanya dia sendiri yang dapat menendang mimpi bangsa Palestina untuk membentuk negara sendiri sehingga tampak sangat tidak masuk akal,” kata Cohen dalam artikel analisisnya berjudul Conflict Strengthens Netanyahu, but the Price is High.
Netanyahu Manfaatkan Konflik Palestina