Suara.com – Partai Persatuan Pembangunan merupakan salah satu partai yang kerap dilanda konflik internal. Pada zaman Orde Baru, PPP pernah dilanda kemelut ketika partai ini dipimpin Jaelani Naro pada 1982.
Kemelut itu kemudian membawa perubahan sikap Nahdlatul Ulama terhadap PPP. NU, salah satu unsur dari fusi partai-partai Islam di PPP, dalam Muktamar di Situbondo 1984, akhirnya memutuskan keluar dari partai ini. Padahal, nahdhiyin merupakan penopang utama perolehan suara PPP pada setiap pemilu.
Setelah NU cabut dari PPP, hasil perolehan suara partai ini pada Pemilu 1987 memang merosot seperti dugaan sebelumnya. Partai tersebut hanya mendulang sekitar 13,7 juta suara atau anjlok 34,4 persen dibanding Pemilu 1982 yang menangguk 20,87 juta suara.
Konflik PPP Di Era Reformasi
![Terdakwa kasus suap jual beli jabatan di lingkungan Kementerian Agama Romahurmuziy menjawab pertanyaan wartawan usai menjalani sidang tuntutan di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat, Jakarta, Senin (6/1). [Suara.com/Angga Budhiyanto]](https://media.suara.com/pictures/653x366/2020/01/06/74205-romahurmuziy.jpg)
Konflik berlanjut setelah Indonesia memasuki zaman Reformasi. Ketua Umum Suryadharma Ali yang pada 2014 tersangkut perkara korupsi, kemudian menimbulkan kekosongan pemimpin. Kondisi ini lalu memunculkan dua kubu untuk menggantikannya, yang sama-sama menggunakan jalur muktamar.
Muktamar di Surabaya pada Oktober 2014 menetapkan M. Romahurmuziy (Romy) sebagai Ketua Umum PPP, sebulan kemudian Djan Faridz, melalui muktamar di Jakarta, ditunjuk sebagai ketua umum. Ketika Romy tersandung kasus korupsi, muktamar di Makassar pada 2020 memilih Suharso Monoarfa sebagai ketua umum.
Namun, konflik internal belum berakhir di sini. Kepemimpinan Suharso yang dianggap kurang progresif untuk meningkatkan perolehan suara PPP pada Pemilu 2024, menjadi salah satu alasan untuk melengserkannya.
Momentum itu akhirnya tiba ketika Suharso melakukan blunder dalam kasus ucapan “amplop kiai” yang dianggap meresahkan kalangan kiai dan nahdhiyin, yang merupakan penyokong penting perolehan suara PPP pada setiap pemilu. Meski Suharso sudah meminta maaf, dorongan untuk mengganti dia sudah mencapai puncaknya.
Melalui mukernas di Serang pada 4 September 2022, Suharso digusur, digantikan oleh Muhamad Mardiono, sesepuh partai yang ditunjuk sebagai Pelaksana Ketua Umum PPP.
Baca Juga:
Ajak Suharso Monoarfa Gabung ke Majelis PPP, Mardiono: Beliau Belum Berkenan
Suharso memang melakukan perlawanan, namun 5 hari setelah mukernas, Kementerian Hukum dan HAM pada 9 September 2022 menerbitkan surat keputusan pengesahan Mardiono sebagai Pelaksana Ketum PPP. Mardiono sebelumnya merupakan anggota Dewan Pertimbangan Presiden.