Jakarta, CNN Indonesia —
Selama berbada-abad, semenanjung Arab memainkan peran penting dalam sejarah sebagai jalur perdagangan dan sebagai tempat kelahiran Islam, serta paham Wahabi yang meluas.
Sejak Raja Abdulaziz Al-saud mendirikan Arab Saudi, perubahan di wilayah itu sangat mencengangkan, utamanya di infrastruktur.
Saudi mengubah dirinya dari negara gurun menjadi negara modern dan pemain utama di panggung internasional.
Kurang dari 100 tahun setelah kelahiran Islam, Kerajaan Islam meluas dari Spanyol ke beberapa bagian India dan China. Meskipun pusat-pusat politik kekuasaan telah pindah dari Jazirah Arab, perdagangan berkembang di daerah tersebut.
Selain itu, kekaisaran Islam berkembang pada abad ke-17, saat sejumlah kerajaan Muslim memisahkan diri.
Kemudian, pada awal abad ke-18, seorang cendekiawan dan pembaharu Muslim bernama Muhammad bin Abdul Wahhab mulai menyarankan Saudi ke bentuk Islam yang murni.
Menurut Britannica, ia mengkhotbahkan ide-ide ‘radikal’ soal reformasi agama yang konservatif berdasarkan aturan moral yang ketat.
Ajarannya dipengaruhi cendekiawan abad ke-14, Ibn Taymiyyah. Ia menyerukan pemurnian Islam melalui pengusiran praktik-praktik yang ia lihat sebagai inovasi, termasuk teologi spekulatif, tasawuf, dan praktik keagamaan populer seperti ibadah suci.
Pengalaman Pahit Abdul Wahhab
Pengalaman Abdul Wahhab terbilang pedih. Ia sempat dianiaya para ulama dan pemimpin agama setempat lantaran ajarannya mengancam basis kekuasaan mereka.
Ia lalu melarikan diri dan mencari perlindungan di kota Diriyah, wilayah yang diperintah Muhammad bin Saud.
Abdul Wahhab dan Muhammad bin Saud sepakat mendedikasikan diri mengembalikan ajaran Islam yang murni kepada komunitas Muslim.
Dalam semangat itu, bin Saud mendirikan Negara Saudi Pertama, di bawah bimbingan spiritual bin Abdul Wahhab, yang hanya dikenal sebagai Syaikh.
Pada 1788, negara Saudi menguasai seluruh dataran tinggi tengah dan dikenal sebagai Najd.
Pada awal abad ke-19, kekuasaannya meluas ke sebagian besar Semenanjung Arab, termasuk Makkah dan Madinah.
Popularitas dan kesuksesan penguasa Al-Saud menimbulkan kecurigaan Kesultanan Utsmaniyah atau Ottoman, yang ketika itu menjadi kekuatan dominan di Timur Tengah dan Afrika Utara.
Pada 1818, Ottoman mengirim pasukan dalam jumlah besar ke wilayah barat Arabia. Pasukan itu dipersenjatai artileri modern.
Tentara Ottoman kemudian mengepung Diriyah, yang sekarang telah berkembang menjadi salah satu kota terbesar di semenanjung. Pasukan Ottoman meratakan kota dan membuat wilayah itu tidak bisa dihuni secara permanen. Mereka juga merusak sumur dan mencabut pohon kurma.
Pada tahun 1824, keluarga Al-Saud telah mendapatkan kembali kendali politik di Arab tengah. Turki bin Abdullah Al-Saudi, kemudian memindahkan ibu kotanya ke Riyadh, sekitar 32 kilometer dari selatan Diriyah. Negara Saudi Kedua pun terbentuk.
Menurut laporan Saudi Embassy, selama 11 tahun pemerintahan Turki, ia berhasil merebut kembali sebagian besar tanah yang hilang dari Ottoman.
Di bawah kendali Turki dan putranya, Faisal, Negara Saudi Kedua menikmati masa damai, kemakmuran, perdagangan dan pertanian yang berkembang pesat.
Namun, pada 1865 kesejahteraan itu hancur di era kepemimpinan putra Faisal, Abdulrahman saat diserbu tentara Ottoman yang ingin memperluas wilayah ke Semenanjung Arab.
Keluarga Al-Rashid dari Hail dan disokong Ottoman melakukan upaya menggulingkan Negara Saudi.
Abdulrahman terpaksa mengakhiri perjuangan pada 1891. Dia mencari perlindungan di Arab timur yang dikenal sebagai Rub’ Al-Khali, atau ‘Empty Quarter.’
Abdulaziz bin Abdulrahman Al Saud pendiri Kerajaan Saudi, baca di halaman berikutnya…