Indonesia Targetkan Prevalensi Stunting 14 Persen di 2024, Bisakah Gerakan Makan Telur dan Ikan Setiap Hari Jadi Solusi?

Indonesia Targetkan Prevalensi Stunting 14 Persen di 2024, Bisakah Gerakan Makan Telur dan Ikan Setiap Hari Jadi Solusi?

Suara.com – Pemerintah Indonesia punya target ambisius menurunkan angka prevalensi stunting di Indonesia menjadi 14 persen pada tahun 2024. Namun, data Survei Status Gizi Indonesia (SSGI) 2021 menunjukkan bahwa angka prevalensi anak stunting di seluruh wilayah Indonesia masih berada di 24,4 persen. 

Prevalensi stunting dalam SSGI 2021 tadi memang terbilang menurun 6,4 persen dari 30,8 persen pada 2018. Namun, Wakil Presiden Republik Indonesia Ma’ruf Amin, menyebut bahwa ada tantangan besar untuk menurunkan target di tahun 2024 itu. 

“Dengan target 14 persen  pada tahun 2024, masih ada tantangan besar menurunkan prevalensi stunting 10,4 persen poin dalam 2,5 tahun ke depan.” ujar Wakil Presiden Ma’ruf Amin, Ketua Pengarah Tim Percepatan Penurunan Stunting (TP2S) Pusat saat membuka Indonesian SDGs Corporate Summit (ISCOS) Tahun 2022, Selasa (06/09/2022).

Peta Kabupaten/Kota Prioritas Intervensi Stunting di Indonesia. (Dok: Stunting.ID)
Peta Kabupaten/Kota Prioritas Intervensi Stunting di Indonesia. (Dok: Stunting.ID)

Pandemi Covid-19 yang berlangsung selama dua tahun belakangan menjadi salah satu tantangan besar dalam mencapai target tersebut. Hal itu terungkap dalam sebuah studi berjudul “Tantangan Pencegahan Stunting Pada Era Adaptasi Baru “New Normal” Melalui Pemberdayaan Masyarakat Di Kabupaten Pandeglang”, yang dilakukan oleh Candarmaweni pada tahun 2020. 

Baca Juga:
Dua Ekor Hiu Tutul Terdampar di Pantai Pacitan, Dievakuasi ke Daratan Diseret Pakai Tali

Dalam studinya, peneliti memaparkan pandemi Covid-19 menimbulkan dampak ekonomi secara langsung yang membuat banyak pengangguran di desa dan tidak memiliki peluang usaha.  SItuasi tersebut membuat pendapatan masyarakat berkurang, dan menyebabkan daya beli menurun. Pada akhirnya situasi itu membuat asupan gizi untuk keluarga juga berkurang.

Padahal, dalam studi “Assessment of protein adequacy in developing countries: quality matters” yang melibatkan data dari 116 negara disebutkan bahwa asupan makanan rendah protein berkualitas sangat terkait dengan kasus stunting anak. Hal itu juga dijelaskan oleh Ketua Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI), dr. Piprim Basarah Yanuarso, Sp.A(K), yang mengatakan bahwa dalam masa pertumbuhan anak membutuhkan asupan gizi, terutama protein hewani yang cukup. 

“Secara saintifiknya di anak anak itu kan sedang proses pertumbuhan, ada salah satu kompleks protein dalam tubuh kita namanya mTor, itu semacam switch atau saklar, yang kalau dia aktif akan mengaktifkan pertumbuhan, termasuk pertumbuhan linear, perpanjangan tulang, perbesaran organ, dan macam-macam,” ujar Piprim saat dihubungi Suara.com, Rabu, (8/9/2022). 

Untuk mengaktifkan saklar tersebut, lanjut Piprim, butuh asam amino esensial yang cukup di dalam darah. Asam amino esensial tersebut berasal dari protein hewani. Hal tersebut telah dibuktikan oleh sejumlah penelitian internasional.

Ilustrasi tinggi badan anak, tubuh pendek atau stunting. ( Shutterstock)
Ilustrasi tinggi badan anak, tubuh pendek atau stunting. ( Shutterstock)

Dalam sebuah studi berjudul “Child Stunting Is Associated With Low Circulating Essential Amino Acids” yang diterbitkan pada jurnal EBioMedicine, tahun 2016 dan melibatkan lebih dari 300 anak berusia 12-59 bulan di pedesaan Malawi, anak-anak stunting memiliki konsentrasi serum yang lebih rendah secara signifikan dari semua 9 asam amino esensial. 

Baca Juga:
Ikan Asap Iwaku Mejeng di Festival Tong Tong Belanda

“Kemudian, anak-anak stunting itu, kalau diteliti asupan protein hewaninya memang lebih rendah dibanding  anak-anak yang tidak stunting, walaupun total kalori yang dia makan sama,” ujar Piprim. 

Scroll to Top