Hujan lebat mulai mengguyur Jalur Gaza pada Selasa (14/11), membawa ancaman baru bagi warga Palestina yang sudah menderita akibat agresi Israel.
Al Jazeera melaporkan awal musim hujan di Gaza menimbulkan kekhawatiran baru bahwa daerah kantong itu berpotensi banjir akibat sistem pembuangan limbah yang telah rusak. Berbagai penyakit juga dikhawatirkan mewabahi penduduk.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
“Kami sangat prihatin. Kami sudah mengalami wabah penyakit diare. Kami sudah mencatat lebih dari 30 ribu kasus di saat kami biasanya memprediksi 2 ribu kasus dalam periode yang sama,” kata juru bicara Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), Margaret Harris.
Nyaris semua warga Gaza saat ini tinggal di pengungsian setelah gempuran Negeri Zionis menghancurkan rumah-rumah mereka. Masyarakat tak punya pilihan selain tinggal di tenda-tenda, ditemani hujan roket dan baku tembak di kawasan itu.
Di tempat pengungsian Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) di Khan Younis Gaza selatan, orang-orang yang terlantar terpaksa bangun saat malam hari untuk mendapati pakaian yang mereka jemur basah kuyup oleh hujan.
“Kami berada di sebuah rumah yang dibangun dari beton dan sekarang kami berada di tenda,” kata Fayeza Srour, warga Gaza yang mengungsi di sana.
“Terpal nilon, tenda, dan kayu tidak akan tahan banjir. Orang tidur di lantai, apa yang bisa mereka lakukan? Kemana mereka akan pergi?” lanjut dia, seperti dikutip Reuters.
Musim dingin di Gaza biasanya bisa menyebabkan daerah kantong itu basah dan dingin serta terkadang dilanda banjir.
Warga lain di penampungan pun ramai-ramai memanjatkan doa agar hujan berhenti.
“Jika hujan terjadi, akan sangat sulit bagi kami. Tidak ada kata yang mampu menggambarkan penderitaan kami,” ucap warga bernama Karim Mreish.
Juru bicara Dewan Pengungsi Norwegia, Ahmed Bayram, mengatakan awal musim hujan ini bisa menandai “pekan paling sulit di Gaza” sejak konflik pecah 7 Oktober lalu.
“Hujan lebat bisa menghambat pergerakan bagi orang-orang dan tim penyelamat,” katanya.
“Ini akan menyulitkan penyelamatan orang yang terjebak di bawah reruntuhan atau untuk menguburkan orang yang tewas. Semua ini di tengah pemboman tanpa henti dan bencana kekurangan bahan bakar,” lanjut Bayram.
Direktur Komunikasi Badan Bantuan dan Pekerjaan Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Pengungsi Palestina (UNRWA), Juliette Touma, mengatakan pihaknya saat ini cuma bisa berfokus pada pemenuhan kebutuhan penduduk “di sini dan sekarang.”
“Kami hampir tidak bisa melakukannya dari satu jam ke jam berikutnya karena situasi di lapangan sangat, sangat, sangat putus asa,” ucap Touma.
Menurut Touma, situasi di Gaza sangat buruk karena hujan kecil saja bisa menyebabkan jalanan di daerah kantong itu tergenang. Hal itu imbas rusaknya sistem pembuangan limbah sehingga tak mampu lagi menyerap air.
“Ini pada hari biasa, bukan ketika setengah dari Gaza, jika tidak lebih, berada dalam reruntuhan,” kata Touma.
Meski begitu, hujan juga membawa keberkahan bagi beberapa pengungsi Palestina di Kota Deir Al-Balah, Gaza tengah. Mereka yang tidak bisa minum air bersih akibat perang bisa menadahkan wadah untuk menampung air hujan untuk diminum.
“Kami telah minum air asin selama 30 hari. Belum ada air tawar. Saya baru saja mengumpulkan ini dari air hujan,” kata Um Mohammad Shahin.
Agresi Israel di Gaza hingga kini terus berlanjut dan menewaskan lebih dari 11.300 orang per Selasa (14/11). Negeri Zionis terus melancarkan serangan tanpa pandang bulu di darat dan udara Gaza dengan dalih ingin menumpas milisi Hamas.
Terkini, Israel bahkan dilaporkan mengintensifkan serangan di rumah sakit-rumah sakit karena mencurigai Hamas membangun markas komando di bawah fasilitas sipil tersebut. Rumah Sakit Al Shifa menjadi salah satu target sasaran gempur Israel.
Militer Tel Aviv bahkan sudah menerobos masuk unit gawat darurat dan basement rumah sakit terbesar di Gaza tersebut.
(blq/bac)