Harga bahan bakar minyak (BBM) subsidi pertalite dan solar diperkirakan bakal naik dalam waktu dekat. Hal ini tak lepas dari kuota yang menipis dan dana subsidi membengkak Rp502 triliun dari proyeksi awal Rp170 triliun.
Formula harga dasar pertalite dan solar ini sendiri diatur oleh pemerintah. Hal itu tertuang dalam Keputusan Menteri ESDM Nomor 148 K/12/MEM/2020 tentang Formula Harga Dasar Jenis Bahan Bakar Minyak Tertentu dan Jenis Bahan Bakar Minyak Khusus Penugasan.
Dalam beleid itu, harga dasar untuk pertalite dan solar terdiri atas biaya perolehan, biaya distribusi, dan biaya penyimpanan, serta margin atau keuntungan yang ditetapkan oleh badan usaha penugasan dalam hal ini PT Pertamina (Persero).
Adapun formula harga dasar untuk pertalite atau bensin RON 90 ditetapkan dengan formula 96 persen Harga Indeks Pasar (HIP) RON minimum 88 ditambah Rp821 per liter.
Sementara, formula harga dasar untuk solar yang disediakan dan didistribusikan oleh adalah 97,5 persen HIP minyak solar (gas oil) ditambah Rp900 per liter.
Formula dasar ini digunakan sebagai acuan untuk menetapkan harga dasar setiap liter pertalite dan solar. Formula ini dapat dievaluasi dengan mempertimbangkan realisasi faktor yang mempengaruhi penyediaan dan pendistribusian dari BBM subsidi tersebut.
Ekonom Center of Reform on Economics (Core) Indonesia Yusuf Rendy Manilet menuturkan jika pemerintah menaikkan harga BBM pertalite dan solar, inflasi jelas akan naik. Sebab, kenaikan harga bahan bakar bisa berimbas pada kenaikan harga komoditas lainnya.
Terlebih, angka inflasi hingga Juli 2022 yang mencapai 4,94 persen menunjukkan pertumbuhan yang relatif signifikan jika dibandingkan dengan periode yang sama pada tahun sebelumnya. Secara tahunan, inflasi yang melebihi 4 persen itu sudah melewati batas atas dari target inflasi pemerintah di sepanjang 2022 ini.
Tak main-main, Yusuf menuturkan jika harga pertalite diasumsikan naik dari Rp7.650 menjadi Rp10 ribu per liter, inflasi bisa melonjak hampir dua kali lipat di akhir 2022, yakni 8 persen.
“Inflasi bisa mencapai di atas 5 persen. Bahkan, bukan tidak mungkin inflasi justru bisa mencapai 6 persen sampai dengan 8 persen di sepanjang 2022,” paparnya kepada CNNIndonesia.com, Selasa (23/8).
Selain itu, Yusuf juga mengatakan kenaikan harga pertalite dapat memperlambat pertumbuhan ekonomi nasional jika tidak dibarengi dengan pemberian kompensasi untuk masyarakat menengah ke bawah.
Oleh karena itu, kata dia, pemerintah perlu memberikan bantuan langsung tunai (BLT) kepada kelompok masyarakat yang berpotensi terdampak dengan kebijakan menaikkan harga pertalite ini.
“Artinya, ketika pertalite ini dinaikkan kelompok ini terutama mereka yang hidup di sekitar garis kemiskinan namun belum berkategori sebagai penurun miskin adalah kelompok yang perlu diperhatikan oleh pemerintah,” papar Yusuf.
Jika inflasi melonjak dan pemerintah tidak memberikan kompensasi, kenaikan harga pertalite dan solar juga bisa berimbas kepada penurunan konsumsi rumah tangga semester II tahun ini. Ia memprediksi konsumsi rumah tangga bisa turun ke kisaran 5 sampai 5,3 persen.
“Secara seasonal pada semester ke II pun tidak ada pola seasonal yang mendorong konsumsi rumah tangga, seperti Ramadhan, maka ada peluang konsumsi rumah tangga akan lebih rendah dibandingkan pencapaian di semester I,” kata dia.
Adapun berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), konsumsi rumah tangga RI telah tumbuh 5,51 persen pada kuartal II 2022 lalu.
Sementara itu, Ekonom Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira menghitung apabila harga pertalite naik dari Rp7.650 per liter menjadi Rp10 ribu per liter, maka inflasi diperkirakan tembus 6 persen hingga 6,5 persen secara tahunan.
“Dikhawatirkan menjadi inflasi yang tertinggi sejak September 2015,” ujarnya.
Kenaikan harga pertalite, sambung dia, sudah pasti akan berdampak langsung pada daya beli masyarakat, bahkan bisa meningkatkan jumlah orang miskin baru. Menurutnya, ekonomi 40 persen kelompok rumah tangga terbawah dikhawatirkan akan semakin berat. Ditambah lagi, 64 juta UMKM bergantung pada BBM subsidi.
Bhima juga memprediksi konsumsi rumah tangga bisa melemah ke level 3,75 persen. “Konsumsi akan melemah diproyeksikan hanya tumbuh 3,75 hingga 4 persen pada semester II 2022,” kata dia.
(mrh/sfr)