DPR RI akan mengesahkan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) dalam rapat Paripurna yang dijadwalkan Selasa (6/12).
Sekretaris Jenderal DPR Indra Iskandar menyebut agenda itu sesuai keputusan Badan Musyawarah (Bamus) DPR.
“Sesuai keputusan rapat direncanakan besok. Untuk jamnya sedang dikonsultasikan dengan pimpinan,” kata Indra saat dihubungi, Senin (5/12).
Sementara itu, berdasarkan website resmi DPR, Pembicaraan Tingkat II/Pengambilan Keputusan atas RKUHP memang dijadwalkan pada rapat paripurna besok.
Selain itu, agenda lainnya adalah Pembicaraan Tingkat II/Pengambilan Keputusan atas RUU tentang Pengesahan Perjanjian antara Pemerintah Republik Indonesia dan Pemerintah Republik Singapura tentang kerja Sama Pertahanan dan Pembicaraan Tingkat II/Pengambilan Keputusan atas RUU tentang Pengesahan Persetujuan antara Pemerintah Republik Indonesia dan Pemerintah Republik Fiji tentang Kerja Sama Bidang Pertahanan.
Komisi III DPR sebelumnya telah menyetujui RKUHP dibawa ke Paripurna untuk disahkan menjadi undang-undang. Keputusan itu diambil dalam rapat keputusan tingkat I yang digelar bersama pemerintah pada 24 November lalu.
Sebagian menganggap Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) masih kacau dan memuat pasal-pasal bermasalah.
Berikut rangkuman CNNIndonesia.com beberapa pasal kontroversial dalam draf RKUHP dalam naskah RKUHP terbaru per 30 November 2022 yang diakses dari laman https://peraturan.go.id/site/ruu-kuhp.html.
1. Penghinaan Terhadap Presiden
Draf RKUHP pasal 218 ayat (1) menyatakan bahwa setiap orang yang di muka umum menyerang kehormatan atau harkat dan martabat diri presiden dan/atau wapres dipidana dengan pidana penjara maksimal tiga tahun atau denda paling banyak Rp200 juta.
Kemudian pada Pasal 218 ayat (2) menyatakan bahwa hal tersebut tidak berlaku jika perbuatan dilakukan untuk kepentingan umum atau pembelaan diri.
Pada bagian penjelasan Pasal 218 ayat (2) dinyatakan bahwa hal yang dimaksud dengan ‘dilakukan untuk kepentingan umum’ adalah melindungi kepentingan masyarakat yang diungkapkan salah satunya lewat aksi unjuk rasa atau demonstrasi, kritik atau pendapat yang berbeda dengan kebijakan presiden dan/atau wakil presiden.
Dalam negara demokratis, lanjut penjelasan ayat itu, kritik menjadi hal penting sebagai bagian dari kebebasan berekspresi yang sedapat mungkin bersifat konstruktif, walaupun mengandung ketidaksetujuan terhadap perbuatan, kebijakan, atau tindakan presiden dan/atau wapres.
2. Sebar Ajaran Komunis Pidana 4 Tahun Penjara
Naskah Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) terbaru mengancam pidana hingga 4 tahun bui bagi seseorang yang menyebarkan atau mengembangkan ajaran komunis, marxisme, dan leninisme.
Ketentuan tersebut diatur pada pasal 188 tentang Tindak Pidana terhadao Ideologi Negara.
“Setiap orang yang menyebarkan atau mengembangkan ajaran komunisme/marxisme-leninisme di muka umum dengan lisan atau tulisan termasuk menyebarkan atau mengembangkan melalui media apapun, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun,” demikian bunyi ayat 1 Pasal 188 pada draf RKUHP itu.
Pada ayat berikutnya, ancaman pidana bisa bertambah hingga tujuh tahun jika tindakan penyebaran ajaran tersebut dilakukan dengan tujuan mengganti Pancasila sebagai dasar negara.
Ancaman pidana terhadap pelaku penyebaran ajaran komunisme, marxisme, dan leninisme bisa terus bertambah hingga 15 tahun jika mengakibatkan kerusuhan, dan mengakibatkan kematian orang lain.
“Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) mengakibatkan matinya orang, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun”.
Namun begitu, ancaman pidana terhadap penyebaran marxisme tak bisa dilakukan jika untuk kepentingan ilmu pengetahuan.
Pada bagian penjelasan, yang dimaksud untuk kepentingan ilmu pengetahuan misalnya mengajar, mempelajari, dan menelaah di lembaga pendidikan, penelitian, dan pengkajian tanpa bermaksud untuk menyebarkannya.
Sementara, yang dimaksud ajaran komunisme adalah paham atau ajaran Karl Marx yang terkait dengan strategi perjuangan yang diajarkan oleh Lenin, Stalin, Mao Tse Tung, dan lain-lain, dan mengandung benih-benih dan unsur-unsur yang bertentangan dengan falsafah Pancasila.
3. Aturan Terkait Santet
Revisi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) mengatur hukuman penjara bagi orang yang melakukan santet dituangkan dalam pasal 252 ayat (1).
Ancaman hukuman pidana bagi pelaku santet mencapai 1,5 tahun.
“Setiap Orang yang menyatakan dirinya mempunyai kekuatan gaib, memberitahukan, memberikan harapan, menawarkan, atau memberikan bantuan jasa kepada orang lain bahwa karena perbuatannya dapat menimbulkan penyakit, kematian, atau penderitaan mental atau fisik seseorang, dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun 6 (enam) Bulan atau pidana denda paling banyak kategori IV,” bunyi pasal tersebut.
Bagian penjelasan Pasal 252 ayat (1) menjelaskan alasan pembuatan pasal itu yakni mencegah keributan di masyarakat jika ada orang yang menawarkan jasa santet.
“Ketentuan ini dimaksudkan untuk mencegah praktik main hakim sendiri yang dilakukan oleh warga masyarakat terhadap seseorang yang menyatakan dirinya mempunyai kekuatan gaib dan mampu melakukan perbuatan yang dapat menimbulkan penderitaan bagi orang lain,” bunyi penjelasan pasal itu.
Selain itu ada pasal dalam RKUHP yang mengatur pemindanaan terkait seks di luar nikah dan penyebaran berita bohong.
Pakar Hukum Tata Negara Bivitri Susanti menilai rencana pengesahan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) akan merusak Indonesia sebagai negara hukum dan demokrasi.
Bivitri menilai draf RKUHP itu masih kacau dan memuat pasal-pasal bermasalah.
“Jadi yang terjadi adalah kerusakan negara hukum dan demokrasi,” kata Bivitri dalam diskusi Kedai Kopi, Jakarta Pusat (4/12).
Bivitri menyebut beberapa pasal dalam RKUHP bisa dengan mudah digunakan sebagai alat kriminalisasi terhadap rakyat.
(yoa/isn)