Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Amerika Serikat menyetujui Rancangan Undang-Undang (RUU) yang mengizinkan pemerintah mengucurkan dana US$1 miliar (Rp14,2 triliun) untuk sistem pertahanan udara Iron Dome Israel.
Dengan suara 420-9 dan dua anggota abstain, DPR AS dengan mudah menyepakati RUU tersebut. Delapan politikus Demokrat dan satu politikus Republik menentang beleid tersebut dalam rapat pada Kamis (23/9).
“Sesuai dengan Nota Kesepahaman 2016 antara Amerika Serikat dan Israel, yang mengikat Amerika Serikat untuk memberikan bantuan tambahan untuk mengisi kembali Iron Dome setelah periode pertempuran memungkinkan Israel terus mempertahankan diri dari serangan,” bunyi pernyataan itu, dikutip dari CNN, Jumat (24/9).
RUU itu nantinya secara khusus diperuntukan mengganti sistem pencegat rudal Irone Dome Israel yang digunakan Tel Aviv selama pertempuran sengit dengan kelompok Hamas di Palestina pada Mei lalu.
Sistem Pertahanan Udara Iron Dome dirancang untuk mencegat roket di udara sebelum jatuh ke Israel. Iron Dome awalnya dikembangkan oleh perusahaan teknologi pertahanan Israel, Rafael, tetapi sistem tersebut telah disponsori Amerika Serikat.
Menurut Congressional Research Service, Amerika Serikat telah memberikan $1,6 miliar atau Rp22,7 triliun kepada Israel untuk mengoperasikan Iron Dome, pencegat, biaya produksi bersama, dan pemeliharaan umum hingga November 2020.
RUU itu kini ada di meja Senat, namun tidak jelas kapan akan mendapatkan persetujuan.
Anggota DPR AS dari Demokrat, Rashida Tlaib, menyuarakan ketidaksetujuan terhadap pendanaan itu sebelum pemungutan suara RUU tersebut.
“Saya berencana untuk memberikan suara ‘tidak’. Kita harus berhenti memungkinkan pelanggaran hak asasi manusia Israel dan pemerintahan apartheid,” katanya di akun Twitter, Rabu (22/9).
Anggota DPR dari partai yang sama dengan Tlaib, Ilhan Omar, juga menyatakan hal serupa.
“Mengingat pelanggaran hak asasi manusia di Gaza, Sheikh Jarrah, dan perluasan pemukiman yang terus berkembang, kita tidak boleh memaksakan peningkatan $ 1 miliar di menit-menit terakhir dalam pendanaan militer untuk Israel tanpa pertanggungjawaban apa pun.”
Omar dan Tlaib merupakan dua perempuan Muslim pertama yang bertugas di Kongres. Tlaib merupakan keturunan Palestina-Amerika pertama yang bertugas di DPR.
Selain Omar dan Tlaib,sejumlah anggota DPR Demokrat lain juga ikut frustrasi dengan RUU itu.
(isa/bac)