Suara.com – Rekomendasi pemberhentian tetap mantan Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto sebagai anggota Ikatan Dokter Indonesia (IDI) sebenarnya sudah dikeluarkan sejak 2018 silam. Namun, rekomendasi itu berlarut dan kembali memuncak pada 2022 hingga menimbulkan polemik.
Akibat hal ini banyak yang penasaran, mengapa IDI perlu waktu lama untuk menerapkan putusan ini, dan mencurigai ada berbagai tujuan politis di baliknya, benarkah?
Jubir Muktamar IDI, Dr. dr. Beni Satria saat berdiskusi khusus dengan Suara.com, Sabtu (2/4/2022) menjelaskan bahwa polemik pemberhentian Terawan karena melanggar kode etik sudah terjadi sejak 2013 silam.
Setelah diduga melanggar kode etik, Dr. Beni mengatakan kasus Terawan yang berlarut kemudian bertambah banyak, termasuk tidak menghiraukan panggilan atau kesempatan membela diri hadir dalam forum yang disediakan MKEK.
Seiring waktu, dugaan pelanggaran yang dilakukan semakin bertamah, hingga pada Muktamar IDI ke-30 di Samarinda pada 2018, IDI mengeluarkan surat pemberhentian Terawan sebagai anggota IDI.
Namun saat akan direalisasikan, terjadilah kebocoran surat rekomendasi putusan internal MKEK kepada IDI, yang seharusnya tidak sampai ke publik.
“Saat akan melakukan eksekusi terjadi kebocoran surat, yang surat itu ditujukan kepada IDI, sehingga terjadi kehebohan,” ungkap lelaki yang berhasil meraih gelar doktor ilmu hukum di Universitas Islam Bandung (UNISBA) itu.
Setelah beberapa saat surat internal MKEK tersebar ke publik, IDI kembali mengurungkan niat merealisasikan putusan Muktamar 2018, lantaran Terawan ditunjuk sebagai Menteri Kesehatan RI periode 2019-2020.
Menurut Dr. Beni, penundaan putusan itu juga sebagai bentuk penghormatan IDI, agar Terawan bisa lebih fokus sebagai Menkes dan mengemban tugas menuntaskan masalah kesehatan Indonesia.
Baca Juga:
Ketua IDI Tegaskan Tak Ada Agenda Konspirasi dalam Pemecatan Terawan
“Tentu hal ini merupakan hak prerogatif seorang presiden yang merupakan pejabat publik. Tapi tindakan kita mencegah dahulu agar tidak seolah olah mencampuri urusan politik agar tidak mengganggu hak prerogatif, untuk menenangkan massa,” papar dokter yang fokus pada masalah etik kedokteran Indonesia ini.