Curhat WNI Jadi Korban Penipuan Kerja Paksa Judol di Kamboja

Curhat WNI Jadi Korban Penipuan Kerja Paksa Judol di Kamboja


Jakarta, CNN Indonesia

Salah satu warga negara Indonesia (WNI) menceritakan kegetiran dia menjadi korban penipuan daring atau online scamming di perusahaan judi online ilegal di Kamboja.

Laki-laki lulusan S1 Manajemen dengan nama samaran Slamet pergi ke Kamboja pada 2023 lalu. Saat itu, dia belum punya pekerjaan dan tawaran menggiurkan datang.

Slamet sebelumnya bekerja di bank di Jawa Timur. Perekrut menemui dia saat di kedai kopi.


ADVERTISEMENT


SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

“Saat perekrut menghubungi saya, saya sudah menganggur selama empat bulan setelah kontrak saya di sebuah perusahaan perbankan berakhir,” kata Slamet

Perekrut itu lalu menawari Slamet bekerja di pabrik Vietnam dengan gaji Rp15 juta sebulan. Gaji ini, klaim dia, belum termasuk tunjangan makanan sebesar US$200 atau sekitar Rp3,2 juta.

Slamet menerima tawaran itu. Namun, alih-alih ke Vietnam, dia dibawa ke apartemen di Bavet, kota perbatasan internasional Kamboja-Vietnam.

“Saya hanya digaji 4 juta rupiah per bulan dan harus bekerja lebih dari 12 jam sehari, kantor dijaga orang-orang bersenjata dan anjing pelacak,” kata dia ke Channel News Asia, Senin (13/1).

Sebagai bagian dari pekerjaan, dia bertugas mengelola transaksi mereka yang berpartisipasi dalam judi online di Indonesia.

Dia tak puas dengan pekerjaan yang dijalani dan meminta pulang ke Indonesia. Namun, bos Slamet menuntut denda hingga Rp50 juta untuk bisa kembali ke rumah.

Slamet tak punya pilihan sekaligus harapan: dia harus tetap bekerja di sana.

“Tak ada perjanjian kontrak sama sekali,” ungkap dia.

Menurut Slamet sebanyak 80 persen orang yang bekerja bersama dia merupakan warga Indonesia, termasuk bosnya.

Mereka bekerja dan tidur di kantor dan hanya bisa keluar untuk makan atau merokok dengan pengawasan ketat.

Slamet juga bercerita perusahaan judi online di Kamboja menggunakan senjata listrik ke karyawan yang dianggap tak kompeten.

“Teman saya bercerita, dia pernah disetrum karena tidak bisa menguasai pekerjaannya setelah seminggu latihan dan kalau seminggu lagi tidak bisa, dia diancam akan disetrum lagi,” ungkap Slamet.

“Dan kalau dalam waktu sebulan dia tidak kompeten, dia diancam (dipindahkan) ke Myanmar. Siapa tahu bagaimana nasibnya kalau dia di Myanmar?”

Karena tak tahan dengan sistem kerja di sana, Slamet kabur ke Indonesia saat izin merokok. Meski Sudah dua tahun berselang, dia tetap merasa cemas bos online scam akan mencarinya.

Pada Agustus 2023, Kantor Komisaris Tinggi PBB untuk Hak Asasi Manusia (OHCHR) melaporkan 120.000 orang di Myanmar dan 100.000 lainnya di Kamboja menjadi korban perdagangan manusia melalui kejahatan daring.

Mereka ditahan dalam situasi terpaksa melakukan penipuan untuk menguntungkan bisnis ilegal.

Korban kualifikasi pendidikan tinggi

Migrant Care Indonesia mencatat profil korban perdagangan orang di Kamboja dan Myanmar.

Saat ini, sebagian besar korban perdagangan manusia di Indonesia adalah kaum muda dengan kualifikasi pendidikan tinggi. Dahulu, sebagian besar korban merupakan perempuan dari latar belakang ekonomi dan pendidikan yang rendah.

Migrant Care menyebut pergeseran tren itu karena pandemi Covid-19 yang memicu banyak pengangguran.

Salah satu taktik perekrut untuk memikat korban adalah mengklaim mereka akan bekerja sebagai programmer di industri teknologi digital. Namun, mereka justru ditempatkan di bisnis ilegal.

Komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Anis Hidayah juga menilai tingkat kejahatan perdagangan manusia di Indonesia sudah pada taraf darurat.

Anis mengatakan, warga negara Indonesia semakin rentan terhadap perdagangan manusia. Situasi ini kian buruk karena literasi digital di negara ini.

“Dulu korbannya lulusan SD dan SMP, sekarang sudah banyak korban yang sudah berpendidikan S1, S2, dan ada juga yang dipulangkan oleh Kementerian Luar Negeri, mereka adalah influencer,” tutur Anis.

(isa/rds)


[Gambas:Video CNN]

Scroll to Top