Suara.com – Wakil Ketua Komisi II DPR RI Saan Mustopa pesimis bahwa pengubahan pilkada langsung menjadi pemilihan lewat DPRD akan menghilangkan politik uang atau money politic.
Diketahui, MPR RI melakukan pembahasan tentang evaluasi Pilkada langsung. Satu faktor yang mendasari pembahasan itu ialah untuk mencegah perilaku kepala daerah yang korup. Tindakan korupsi itu dinilai terjadi karena mahar politik tinggi kepala daerah terpilih.
“Apakah ada jaminan lewat DPRD tidak ada yang namanya money politic?” kata Saan kepada wartawan, Rabu (12/10/2022).
Sebaliknya, menurut Saan, pemilihan lewat DPRD justru membrikan potensi baru terhadap kelanggengan oligarki.
Baca Juga:
Respons Langkah MPR Dan Wantimpres, Komisi II DPR: Pilkada Tetap Langsung Dan Serentak Di 2024
“Jangan-jangan yang muncul ada oligarki juga di sana kan. Jadi money politic di situ bukan lagi put buying tapi lebih kepada dagang sapi,” ujar Saan.
Sebelumnya, menanggapi tentang politik uang, Wakil Ketua Komisi II Junimart Girsang tidak yakin apabila Pilkada yang dibuat secara tidak langsung akan dapat menghilangkan praktik-praktik culas tersebut.
“Itu relatif dan tidak menjadi jaminan untuk tidak transaksional. Semua kembali kepada politik demokrasi yang bersih. Perlu dilakukan kajian akademik yang detail,” kata Junimart.
Alasan Kepala Daerah Korup
Ketua MPR RI Bambang Soesatyo atau Bamsoet sempat menyinggung tentang evaluasi terhadap sistem demokrasi atau sistem pemilihan umum. Bamsoet menegaskan pemilihan umum yang dimaksud ialah, Pilkada bukan Pilpres.
“Jadi bukan Pilpres atau Pilegnya tapi kita lebih kepada Pilkada. Pemilu Pilkadanya,” kata Bamsoet di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Senin (10/10/2022).
Baca Juga:
Wacana Pilkada Dipilih Lewat DPRD, Moeldoko: Dilihat Regulasinya
Bamsoet mengatakan pembahasan tentang evaluasi sistem Pilkada dari langsung menjadi dipilih lewat DPRD itu baru sebatas diskusi bersama Dewan Pertimbangan Presiden.
Ia menyoroti salah satu alasan yang menjadi dasar dibahasnya evaluasi sistem Pilkada. Salah satunya ialah banyak kepada daerah yang korupsi. Perilaku korupsi itu disinyalir tidak terlepas dari biaya politik yang tinggi.
Biaya politik tinggi untuk mengikuti pemilihan itu yang kemudian bisa menjadi pemicu kepala daerah terpilih berperilaku korup.
“Masih banyak korupsi kepala daerah yang ditangkap kemudian banyak pengusaha yang mengeluh dengan sistem pemilihan langsung di daerah.
“Ini rata-rata dia harus menyumbang tidak hanya satu calon tapi dua, tiga calon di daerah yang sama. Kalau di beberapa daerah pada saat yang sama serentak ini pusing lah barang itu,” sambung Bamsoet.
MPR dan Wantimpres dikatakan Bamsoet, tentu akan melibatkan para akademisi dan pihak-pihak terkait yang memang ahli di bidangnya untuk mengkaji permasalahan tersebut lebih lanjut. Hasil kajian itu nantinya diharapkan dapat disampaikan ke DPR untuk kemudian dibuat aturan perundang-undangnya.
“Jadi kita persilakan nanti DPR untuk mengkajinya kembali. Apakah sistem Pemilu yang hari ini kita jalankan, lebih banyak manfaatnya atau justru lebih banyak mudaratnya,” kata Bamsoet.
Sementara itu, Ketua Wantimpres Wiranto mempertegas bahwa evaluasi sistem Pilkada secara langsung itu memang masih bahasan awal.
“Kita bicara dalam tatanan kebijakannya, bukan tatanan operasional. Jadi kembali tadi masalah teknis tentu tidak kami bicarakan ya,” ujar Wiranto.