Jakarta, CNN Indonesia —
Setelah membuat fase-fase pandemi yang kelabu menjadi sedikit terasa lebih hangat dengan folklore (2020) dan evermore (2020), Taylor Swift kembali ke keramaian pop dengan Midnights.
Keputusan Swift kembali ke pop sebenarnya bisa dibilang mengejutkan, tapi juga bisa dipahami. Keputusan yang mengejutkan karena biasanya, Swift akan memilih hal yang berbeda dari album-album sebelumnya.
Misalnya, setelah tiga album pertama yang full country, ia mulai mengeksplorasi berbagai genre dalam Red (2012). Atau ketika sudah membuat trilogi pop Swift –1989 (2014), reputation (2017), dan Lover (2019)– ia beralih ke folklore (2020) dan evermore (2020) yang alternative dan folky.
Namun keputusan untuk ke pasar utama pop pun bisa dipahami. Ranah musik pop masih menyisakan ruang yang begitu luas untuk dieksplorasi oleh Swift, satu hal yang tak pernah puas ia lakukan dalam bermusik.
Kini, Midnights (2022) menjadi buah dari kegiatan Swift bermain-main dengan musik bersama sahabatnya, Jack Antonoff. Antonoff adalah sahabat sekaligus kolaborator langganan Swift, sekaligus musisi favorit para penggemar Swift.
Namun Midnights juga bukan hanya buah dari Swift dan Antonoff bermain-main dengan melodi, produksi musik yang paripurna, dan lirik yang kelam nan intens. Album ke-10 ini bak buah dari pengalaman Swift dalam membuat tiga album pop dan dua album alternative.
Unsur pop yang dominan dalam album ini mengingatkan akan gurih dan catchy lagu-lagu dalam album 1989 (2014) dan Lover (2019), tapi dengan suasana, melodi, dan penggunaan bass juga efek musik seperti reputation (2017) yang gelap.
Antonoff pun banyak menggunakan synthesizer dan segudang instrumen elektronik lainnya untuk Midnights, meski tak banyak memasukkan unsur hip-hop seperti dalam reputation (2017).
Sementara itu, pengalaman Swift yang meningkatkan kapasitas penulisan liriknya dalam folklore (2020) juga evermore (2020) sangat terlihat dalam lirik-lirik di album Midnights.
Meski seringkali mood melodi dengan lirik terasa tidak seirama, anehnya lagu-lagu dalam Midnights masih bisa dibilang sejalan. Swift bagai memberikan cara ‘menyenangkan’ dalam menghadapi kegalauan depresif yang hadir kala tengah malam.
Swift pun tak main-main saat mengatakan bahwa Midnights memiliki lirik yang intens, seperti You’re On Your Own, Kids dan Anti-Hero. Kedua lagu ini memiliki intensitas emosi yang cukup tinggi dari segi lirik walau kadang melodinya terkesan ‘tak nyambung’ karena suasana riang di dalamnya.
Sementara itu, pengalaman Swift dalam mengarang bebas lirik dalam folklore (2020) dan evermore (2020) terlihat dari lirik-lirik di Midnights seperti pada lagu Question…?, Maroon, Snow On The Beach, The Great War, atau pun Paris.
Kini Swift bisa dibilang terlepas dari stigma curcol via lagu, bahkan ia bisa mengendalikan sendiri narasi apa yang ingin ditulis dan kisahkan. Hal itu pula yang membuat kualitas lirik dalam album ini secara nilai, jauh di atas tiga album pop dia sebelumnya.
Meski begitu, Swift pun menyadari, bahwa cerita asmaranya –baik kini maupun di masa lalu– adalah materi paling favorit para media juga penggemarnya.
Lanjut ke sebelah..