Berbagai negara Asia Tenggara dan Barat mendesak Myanmar menyelesaikan pemberontakan tanpa kekerasan. Desakan ini muncul akibat pernyataan perang dari kelompok anti-junta militer di negara itu.
“Semua pihak harus memprioritaskan keselamatan dan kesejahteraan rakyat Myanmar,” kata juru bicara Kementerian Luar Negeri Indonesia Teuku Faizasyah kepada Reuters, Rabu (8/9).
Selain itu, Teuku juga menambahkan bahwa bantuan kemanusiaan hanya dapat didistribusikan jika situasi di negara itu aman. Indonesia memimpin penyelesaian konflik di Myanmar dibantu dengan negara tetangga lainnya.
Tak hanya Indonesia, Inggris turut berkomentar terkait kebijakan Myanmar dalam menangani pemberontakan yang terjadi.
Duta Besar Inggris untuk Myanmar Pete Vowles mengatakan negaranya mengutuk keras kudeta dan kebrutalan junta, dalam sebuah unggahan Facebooknya. Ia juga mendesak digelar dialog oleh kedua pihak sebagai jalan tengah pemecahan masalah.
Radio Free Asia juga melaporkan mengabarkan Juru Bicara Departemen Luar Negeri AS turut serta mendukung jalan damai dalam mengatasi konflik ini agar negara luar dapat mengirimkan bantuan obat-obatan.
“Amerika Serikat tidak memaafkan kekerasan sebagai solusi untuk krisis saat ini dan menyerukan semua pihak untuk tetap damai,” kata juru bicara itu.
Berbeda dengan negara Barat yang mengutuk penggulingan pemimpin de facto Myanmar Aung San Suu Kyi, China berfokus pada dukungan stabilitas di negara tersebut. Pasalnya, China memiliki kepentingan ekonomi yang besar di Myanmar.
Pemerintah China juga memperingatkan konsekuensi bila negara Barat mendukung pasukan anti-junta militer Myanmar. Kebijakan itu dinilai China dapat menimbulkan bentrok.
“Jika bentrokan bersenjata dimanjakan dan aksi ekstremis politik didorong, negara (Myanmar) akan terganggu dengan pertempuran dan masalah tanpa akhir,” kata pemerintah China dalam surat kabar Global Times.
Pemerintah Persatuan Nasional (NUG) mengatakan bahwa kubunya meluncurkan perang rakyat untuk kelompok anti-junta militer Myanmar. Upaya ini juga menyiratkan ajakan bagi berbagai pasukan dan pejabat Myanmar untuk mendukung mereka.
Langkah ini dinilai juru bicara militer Myanmar sebagai taktik pemberontak untuk mendapatkan perhatian dunia. Ia juga menilai langkah itu tidak akan sukses.
Sebelumnya, Junta Myanmar telah menyetujui seruan Perhimpunan Negara Asia Tenggara (ASEAN) untuk melakukan gencatan senjata hingga akhir tahun.
Oposisi menganggap junta militer tak dapat dipercaya dengan janji gencatan senjata ini. Aktivis pro-demokrasi Myanmar, Thinzar ShunLei Yi, mengatakan gencatan senjata hanya memberikan junta militer lebih banyak waktu untuk mengisi ulang amunisi mereka.
Selain itu, Menteri HAM dari pemerintahan saingan junta militer (NUG), U Aung Myo Min, menganggap saat ini ASEAN seharusnya memprioritaskan penyelesaian masalah politik terlebih dahulu sebelum menangani masalah kemanusiaan.
(pwn/bac)