Jakarta, CNN Indonesia —
Alun gamelan bersahut suara dalang terdengar sayup dari ruang kerja Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) di Istana Kepresidenan, Jakarta, Minggu 22 Juli 2001 sekitar pukul 23.00 WIB. Hari itu adalah sehari jelang pemakzulan Gus Dur dari kursi Presiden RI.
Sayup gamelan tersebut berasal dari sebuah radio yang disetel Gus Dur. Gus Dur tengah mendengarkan wayang kulit saat itu. Lakon yang didengar Gus Dur adalah Wahyu Makutoromo dengan dalang Ki Timbul Hadiprayitno.
Mantan staf pribadi Gus Dur, Priyo Sambadha mengenang, pada malam itu wajah dan perangai Gus Dur amat rileks dan santai. Sore harinya, Gus Dur usai bertemu sejumlah tokoh untuk membahas detail Dekrit atau Maklumat Presiden.
Dua jam kemudian, Selasa 23 Juli 2001, Dekrit ini dibacakan dan makin memperuncing perseteruan politik Gus Dur dengan sejumlah pihak. Akhir cerita yang sudah diketahui bersama saat ini, Gus Dur dimakzulkan.
Sementara di luar Istana, para pendukung Sidang Istimewa dan massa Gus Dur telah berhadap-hadapan. Panser dan kendaraan lapis baja milik tentara lalu lalang di kawasan Monas.
Mantan juru bicara Gus Dur, Adhie Massardi, bahkan menyebut moncong meriam milik tentara langsung menghadap ke Istana.
Situasi di Jakarta memang sedang genting.
Dua hari sebelumnya, Ketua MPR Amien Rais memutuskan mempercepat Sidang Istimewa (SI) MPR dari 1 Agustus 2001 menjadi 23 Juli, dengan agenda meminta pertanggungjawaban presiden. Keputusan Amien ditindaklanjuti dengan menggelar pertemuan di kediaman pribadi Wakil Presiden Megawati Soekarnoputri di Kebagusan, Jakarta Selatan. Pertemuan menghasilkan kesepakatan mengenai masalah ‘kepemimpinan nasional’.
Anggota Fraksi PKB kala itu, Effendy Choirie alias Gus Choi mengatakan dalam krisis politik berkepanjangan antara Gus Dur dan Parlemen, hanya PKB partai di DPR yang gigih menolak agenda Sidang Istimewa dalam rapat paripurna DPR. PKB adalah partai yang didirikan Gus Dur.
“Saya jubir terakhir dari fraksi PKB diminta teman-teman menyatakan sikap bahwa sidang paripurna [DPR] ini hasilnya tak sah, langgar ketentuan, hasil konspirasi. Dan FPKB enggak bertanggung jawab atas dampak dari paripurna ini. Kira-kira begitu. Setelah itu kita memutuskan walkout. ‘Kita nyatakan walkout‘,” ujar Gus Choi yang kini kini bernaung di Partai NasDem.
|
Pergolakan Pikiran Sebelum Munculnya Dekrit Gus Dur
Malam ketika Gus Dur mendengarkan Wahyu Makurotomo juga menjadi malam yang begitu ramai di dalam Istana. Berbagai elemen masyarakat dan pejabat pemerintahan silih berganti berdatangan ke Istana.
Awak media ikut berkumpul, menunggu detik-detik Gus Dur mengeluarkan apa yang selama ini ia utarakan kepada parlemen: Dekrit Presiden.
Eks juru bicara Gus Dur, Yahya Cholil Staquf menyebut Menteri Kehakiman dan HAM Mahfud MD, pegiat HAM Todung Mulya Lubis hingga Jaksa Agung Marsilam Simanjuntak ada di istana sejak sore.
Mereka ada di Istana karena Gus Dur meminta tanggapan dan masukan dari para tokoh untuk menyikapi Sidang Istimewa MPR yang digelar esok hari.
Peneliti LIPI Hermawan Sulistyo jadi saksi detik-detik bersejarah itu. Hermawan datang ke istana setelah ditelepon mantan Direktur Walhi, mendiang Emmy Hafild. Kikiek, sapaan Hermawan, mengaku semula akan ke Menteng, Jakarta Pusat. Ia putar haluan ke Istana usai menerima telepon Emmy.
“Saya hanya di luar saja. Akhirnya ada Yenni (putri Gus Dur) keluar, saya di suruh masuk ke dalam. Ya sudah di situlah saya jadi saksi sejarah,” ujar Hermawan dalam perbincangan via Zoom, Jumat (19/7).
Kikiek mengingat sekitar belasan orang yang diminta Gus Dur masuk ke ruang kerjanya. Dalam ruangan itu mereka yang hadir diminta pertimbangannya mengenai rencana Gus Dur mengeluarkan dekrit.
Tiba gilirannya, Kikiek mengusulkan agar dekrit hanya berisi pembubaran Golkar. Tak perlu memasukkan poin pembubaran parlemen. Alasan Kikiek, untuk memperkecil medan pertempuran.
“Sangat political pertimbangannya. Kalau membubarkan parlemen itu memperluas basis pertarungan. Saya bilang ‘Mas, dekritnya satu aja isinya pembubaran Golkar’,” ujar Kikiek menceritakan pertemuan tersebut.
Namun, soal pembubaran Golkar mendapatkan keberatan dari yang lain. Serangkaian diskusi pendek namun intens ini diamini oleh Yahya Staquf.
“Sebelumnya memang ada diskusi-diskusi dengan beberapa pihak. Minta pendapat ini itu. Lalu Gus Dur sendiri yang pada akhirnya membuat maklumat itu,” kata Yahya kepada CNNIndonesia.com, Selasa (13/7).
Foto besar Gus Dur dalam pigura dipajang pendukung Presiden keempat RI itu bersandar pada barikade kawat berduri di seberang Istana Merdeka, Jakarta Pusat, 24 Juli 2001. (AFP/CHOO YOUN-KONG)
|
Sebelum dekrit dibacakan, Adhie Massardi bercerita sempat mempertanyakan terkait efektivitas dekrit tersebut. Menurutnya, dekrit yang dikeluarkan Gus Dur berbeda dengan dekrit yang sempat dikeluarkan Presiden pertama RI Sukarno pada 1959 silam.
Dekrit yang dikeluarkan Gus Dur, kata dia, tak didukung oleh aparat bersenjata. Ia juga menyinggung soal moncong panser TNI yang terparkir di Monas sengaja diarahkan ke Istana Merdeka, tempat Gus Dur tinggal saat jadi Presiden.
Menurutnya, aksi TNI memarkir kendaraan lapis baja hingga tank di lapangan Monas kala itu menjadi sinyal bahwa tentara mendukung MPR dan sudah tak bersama Gus Dur.
Minggu malam menjelang dekrit, TNI memang menggelar apel bersama di Monas yang dihadiri 2.100 pasukan gabungan dari Kostrad, Kopassus, Paskhas, Marinir dan Kodam Jaya.
Gus Dur lantas menjawab bahwa dekrit memang tidak memiliki kekuatan politik yang memadai. Namun, ia mengatakan dekrit ini akan menjadi pembelajaran bagi bangsa di masa depan bahwa terdapat pelanggaran konstitusi yang dilakukan MPR pada masa pemerintahannya.
“Saya bilang ‘Dekrit Sukarno kan didukung ABRI. Kita kan nggak, Gus’. Lalu Gus Dur bilang, ‘Ya saya tahu, ini penting buat pertanda bahwa ada pelanggaran dalam konstitusi kita’. Gus Dur tahu ini dekrit enggak punya kekuatan politik, dia tahu,” kenang Adhie.
Seperti dikatakan Yahya, diskusi itu berakhir dengan Gus Dur yang tetap mengambil keputusan akhir. Tak berselang lama, sekitar pukul 01.10 rombongan presiden menemui awak media. Gus Dur membuka pidato singkat mengenai dekrit atau maklumat presiden, dilanjutkan dengan Yahya membacakan maklumat tersebut.
“Kuat-kuatan politik harus dilawan juga dengan alat politik. Dan yang dipunya presiden adalah dekrit. Dan itu dilakukan juga Bung Karno… Masalahnya, waktu itu tentara tidak berpihak kepada Gus Dur. Karena Gus Dur baru membuat keputusan di mana polisi tidak lagi di bawah tentara,” ujar Yenny kepada CNNIndonesia.com.
Halaman selanjutnya momen-momen pembacaan dekrit hingga Gus Dur meninggalkan istana.
Siapa yang Membacakan Dekrit Gus Dur?