Tak ada yang abadi. Begitu juga halnya dengan Kekaisaran Turki Usmani (Ottoman). Kekaisaran yang berdiri selama enam abad itu hancur lebur.
Banyak hal yang membuat Turki Usmani hancur ditelan zaman. Mulai dari kebobrokan sikap para pemimpin, birokrasi yang korup hingga rongrongan pemberontakan.
Setelah kematian Sultan Sulaiman Al Qanuni atau Sulaiman I, kejayaan Kekaisaran Turki Usmani mulai redup.
Salah satu penyebabnya adalah kekaisaran itu terlampau bergantung kepada sosok seorang sultan.
Para pemimpin selepas Sulaiman I dinilai kurang cakap. Sistem birokrasi yang kacau juga turut berkontribusi atas kehancuran Turki Usmani.
Menurut Akbar S Ahmad dalam buku Citra Muslim, para pemimpin Turki Usmani setelah Sultan Sulaiman terlena dengan kekuasaan.
“Mereka juga kurang terlibat langsung dalam persoalan administrasi negara, dan peperangan melawan musuh, mereka banyak larut dalam kehidupan istana,” tulisnya.
Akibat rapuhnya kepemimpinan para sultan itu, terjadi banyak pemberontakan di sejumlah wilayah. Di antaranya di Suriah dan di Libanon.
Pemberontakan yang memiliki dampak besar justru datang dari Jenissari, salah satu kelompok tentara Turki Usmani.
Banyaknya wilayah taklukan yang melepaskan diri menyebabkan pemasukan bagi Turki Usmani semakin menurun. Mereka tak lagi membayar pajak dan upeti.
Tentu saja hal itu berdampak pada kemampuan kerajaan dalam memenuhi kebutuhan di negerinya.
Benih-benih korupsi seperti jual beli jabatan di badan pemerintahan juga disebut lazim di. Untuk mendapat jabatan di kekaisaran, seorang calon harus memberikan banyak hadiah sebagai sogokan kepada sultan dan para keluarganya.
Hal itu juga diterapkan bagi mereka yang ingin menjadi gubernur.
Di sisi lain, bangsa Eropa yang memeluk Nasrani justru sedang gencar melakukan penjelajahan hingga Benua Amerika dan Afrika. Harapannya mereka bisa mendapatkan peluang baru untuk hidup makmur dan sejahtera, serta mengembangkan jalur perdagangan ke belahan dunia di bagian timur.
Perang Dunia I yang meletus pada 1914 juga membuat Turki Usmani semakin terpuruk. Saat itu mereka bergabung dengan blok sentral bersama Kekaisaran Jerman, Austria-Hungaria, Bulgaria dan yang lainnya.
Mereka berhadapan dengan blok sekutu, yaitu Prancis, Inggris, Rusia, Italia, Amerika Serikat dan Balkan.
Tercatat ada empat pertempuran yang dihadapi Kekaisaran Turki Usmani dalam PD I. Dalam perang melawan Italia pada 29 September 1911 hingga 18 Oktober 1912, mereka kehilangan Libya.
Dalam Perang melawan Balkan pada 8 Oktober 1912 hingga 18 Juli 1913, Turki Usmani juga kalah meski dibantu Kerajaan Austria-Hungaria. Hal itu membuat mereka kehilangan sebagian wilayah Eropa.
Pada 22 Desember 1914 hingga 17 Januari 1915, Turki Usmani dan Rusia bertempur di Kota Sarikamish. Kekuatan Rusia sanggup memukul mundur pasukan Turki Usmani.
Kemudian pada 19 sampai 25 September 1918, Kekaisaran Turki Usmani melawan Inggris, Prancis dan Hejaz atau Arab Saudi, dan kehilangan wilayah di Timur Tengah.
Pamor Kekaisaran Turki Usmani semakin goyah ketika di dalam negeri muncul gerakan nasionalisme. gerakan itu di antaranya adalah Gerakan Turki Muda, Gerakan Ijtihad Wattaroqqi, dan gerakan politik di bawah kendali perwira militer Turki Usmani, Mustafa Kemal Pasha Attaturk. Tujuan mereka adalah mendirikan negara sekuler.
Ilustrasi suasana di masa pemerintahan Turki Usmani (Ottoman). (iStockphoto/syolacan)
|
Mengutip berbagai sumber, gerakan itu membuat suku-suku di Timur Tengah, yang masih di bawah kekuasaan Turki Usmani, bersatu mengangkat senjata.
Mereka mencoba meredam gerakan kelompok nasionalis dengan meminta bantuan Jerman. Namun, ternyata hal itu tidak mudah karena pasukan Arab didukung Prancis dan Inggris.
Gerakan itu berhasil dan jalan Mustafa Kemal Pasha untuk menerapkan sekularisme di Turki terbuka lebar.
Kemal Pasha merombak habis-habisan dari bentuk kekaisaran menjadi negara republik.
Hingga akhirnya pada 1 November 1922 Kekaisaran Turki Usmani dibubarkan, dan menjadikannya kekhalifahan Islam terakhir di muka bumi.
(isa/ayp)