Jakarta, CNN Indonesia —
Piala Dunia 2022 di Qatar dijadikan momen bagi warga Iran untuk melancarkan protes terhadap rezim negaranya.
Salah satu penonton Italia, Mario Ferri, bahkan nekat masuk lapangan pada laga Portugal vs Uruguay mengibarkan bendera LGBT dan menyuarakan hak-hak perempuan yang dianggap tertindas di Iran.
Ada apa dengan nasib perempuan di Iran?
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Sejak September lalu, perempuan di Iran bak tak kenal lelah berdemo menuntut kebebasan di negara Timur Tengah tersebut.
Aksi itu sebagai buntut protes kematian Mahsa Amini yang diduga mengalami kekerasan dari polisi moral Iran.
Polisi moral Iran menangkap Amini karena disebut tak memakai pakaian yang sopan sesuai aturan negara. Dalam beberapa gambar, ia tampak mengenakan penutup kepala.
Amini kemudian meninggal pada 16 September, tiga hari setelah koma. Banyak pihak menuding ia kehilangan nyawa karena mengalami penyiksaan dari polisi moral Iran.
Kematian Amini pun menjadi sorotan luas hingga memicu gelombang demonstrasi di Iran, mulai dari aksi tenang hingga berujung kerusuhan.
Feminis yang fokus soal Iran, Mana Shoostari, mengatakan perempuan di Iran menghadapi penindasan selama bertahun-tahun.
“Mereka tak bisa memakai apa yang ingin mereka kenakan. Mereka tidak bisa mengatakan apa yang ingin mereka katakan. [Dan] mereka tidak akan mendukungnya lagi,” ujar Mana, seperti dikutip laman resmi UN Women, pekan lalu.
Lebih lanjut, Mana menerangkan perempuan Iran berjuang untuk bisa hidup bebas dan tak khawatir hak-hak dasar mereka dilanggar hanya karena berbicara.
Beberapa bulan sejak kematian Amini, lebih dari 300 tewas di tangan Iran. Ribuan orang, mayoritas perempuan dan anak, juga dilaporkan ditangkap.
“Saat Anda menargetkan satu orang, gelombang riak ini akan muncul. Dan saya berharap orang-orang bisa memahami konsekuensi yang lebih besar dari pencabutan hak-hak perempuan, karena bukan hanya perempuan yang akan terpengaruh [tapi] semua orang,” ujar dia Mana lagi.
Protes terus lahir. Di media sosial bahkan tampak para kaum muda Iran mengambil alih kemudi revolusi.
Di salah satu video yang beredar, mereka menarik foto pejabat Kementerian Pendidikan Iran sembari berteriak “Bi-sharaf! [Tak beretika].”
Mereka juga menggunakan potret pemimpin tertinggi Iran, Ayatollah Ali Khamenei untuk menjadi alat protes. Perempuan muda ini melepas jilbab dan menggenggamnya dengan satu tangan, dan tangan yang lain memegang foto Khamenei.
Satu video lain memperlihatkan sekelompok perempuan meletakkan potret Khemeni di tanah. Mereka bergiliran melompat dan menginjak foto itu.
Mereka tampak tertawa dan diakhir video terdengar “Jangan takut, jangan takut. Kita semua bersama-sama.”
Video lain menunjukkan tiga gadis usia sekolah dasar berbaris, melambai-lambaikan jilbab mereka di tangan.
“Perempuan, hidup, kebebasan,” teriak mereka, seperti dikutip Atlantic Council.
Sementara itu, menanggapi gerakan perempuan di Iran, pengamat kajian Timur Tengah dari Universitas Padjajaran, Dina Sulaeman, menyatakan masyarakat Iran memiliki corak yang khas dalam mengekspresikan sikap politik mereka.
Terkait demo Amini, ia memandang ada kelompok yang pro penggunaan jilbab, ada pula yang mendukung penggunaan jilbab dengan jumlah lebih banyak.
“Ya, ada sebagian yang menolak hijab, itu realitas. Kalau soal bebas, kebebasan perempuan di Iran, mau sekolah, berkarier di berbagai bidang, kuliah, semua bebas,” kata Dina saat dihubungi CNNIndonesia.com, Rabu (30/11).
Menurut dia yang menjadi nyala api kaum feminis di Iran yakni secarik kain di kepala. Namun, lanjut Dina, mereka mengabaikan kemajuan dan pencapaian perempuan Iran lain, hanya gara-gara ada kewajiban berjilbab.
Dina juga menyinggung kasus Amini tak lepas dari urusan geopolitik. Sebab, kata dia, dalam percaturan politik global, Iran adalah aktor politik penting di kawasan.
Dia lalu mengutip laporan dari Brookling yang berjudul “Which to Persia Option for A New American Strategy toward Iran,” yang dirilis 2006 lalu.
AS, katanya, mendukung gerakan demonstrasi di Iran agar tujuan mereka tercapai.
“Mereka ingin mengubah perilaku tanpa keterlibatan militer Iran. Inginnya rakyat Iran sendiri bergerak,” kata dia.
Lebih lanjut, Dina menerangkan AS ingin menerapkan nilai liberalisme dan demokrasi, serta menegakkan rezim yang lebih ramah ke Washington.
“Tujuannya sudah jelas ekonomi, penguasaan sumber daya alam,” kata dia.
Lanjut baca di halaman berikutnya…