Mengangkat kisah dari novel yang meraih gelar best-selling macam Where The Crawdads Sing jelas bukan perkara mudah. Ekspektasi tinggi memang bisa jadi hambatan tersendiri untuk menikmati film adaptasi novel.
Hal itu pula yang terjadi dengan Where The Crawdads Sing yang digarap oleh Olivia Newman, ditulis oleh Lucy Alibar, dan berdasarkan novel bertajuk sama karya Delia Owens.
Harapan akan merasakan sensasi thriller yang berbalut masalah sosial yang kompleks dalam sebuah masyarakat tepian rawa seperti dalam novelnya mungkin tak akan ditemukan dalam film ini.
Justru, film yang dibintangi Daisy Edgar-Jones, Taylor John Smith, dan Harris Dickinson ini lebih terasa sebagai film romansa remaja dengan latar, suasana, dan gaya karakter yang mengingatkan saya akan serial televisi jadul, Dawson’s Creek.
Apakah berarti film ini buruk? Saya memilih untuk tidak buru-buru menghakimi Where The Crawdads Sings dengan vonis itu.
Seperti kisah petualangan Kya (Daisy Edgar-Jones) yang menikmati menyusuri rawa-rawa sepanjang hidupnya, film ini secara perlahan membawa penontonnya menyelami kehidupan si gadis malang tersebut.
Rasa iba, simpati, hingga bahkan mungkin emosi secara perlahan terseret dalam arus permainan Edgar-Jones yang total dalam film ini.
Review film: Where The Crawdads Sing menyajikan kisah gadis malang dalam masalah sosial yang kompleks dalam balutan latar alam yang apik.: (dok. Columbia Pictures/3000 Pictures/Hello Sunshine via IMDb)
|
Nasib Kya tergambar dengan dramatis berkat totalitas akting dari Edgar-Jones. Bahkan mungkin Edgar-Jones memberikan nyawa tersendiri untuk karakter anak malang tersebut.
Belum lagi visual yang cantik berkat pemandangan alam yang tersaji dalam Where The Crawdads Sing.
Sesungguhnya sinematografer Polly Morgan berhasil merekam keindahan alam itu dengan baik sehingga memanjakan mata. Meskipun dalam beberapa bagian, tanda jelas dari efek visual tidak bisa luput dari pandangan.
Film Where The Crawdads Sing jelas menggambarkan upaya Alibar menyarikan pesan mendalam dari novel dan menuangkannya dalam bentuk naskah film.
Upaya itu pun terlihat jelas dalam pesan feminisme, ketimpangan, hingga penghakiman sosial yang tidak adil dalam masyarakat yang bisa dirasakan oleh penonton selama 126 menit film ini berjalan.
Meski begitu, Alibar rasanya terpaku dalam upaya tersebut dan terbebani dengan kemampuan versi novelnya yang sanggup membuat banyak orang hanyut dalam cerita Kya.
Hingga pada akhirnya, pesan-pesan tersirat itu terasa kaku dan kurang menggugah, tertutupi oleh gelora gairah asmara remaja yang panas dari para karakter utama film ini.
Olivia Newman sebagai sutradara pun tampaknya tersesat dalam rawa-rawa North Carolina sehingga ia kurang menyadari akan perubahan atmosfer tersebut.
Sehingga, Where The Crawdads Sing kemudian justru lebih terasa sebagai film asmara remaja alih-alih menjanjikan thriller dan ketegangan dalam persidangan seperti yang terbayangkan semula.
Di sisi lain, kedangkalan cerita itu yang membuat film ini bisa terasa menyenangkan bagi mereka yang hanya ingin duduk dan menikmati film tanpa dipaksa untuk berpikir.
Apalagi dengan pemandangan indah seperti rawa, pantai, senja, hingga pernak-pernik kehidupan berdekade lalu, Where The Crawdads Sing bukan film yang buruk untuk disaksikan sembari makan popcorn dan soda.
Justru film ini bisa masuk menjadi rekomendasi film yang dapat dinikmati baik di bioskop hingga layar ponsel secara streaming.
Where The Crawdads Sing memang bukan film yang mampu membuat terpana dengan ceritanya hingga “jaw dropping“, tapi juga bukan film “pilihan terakhir” saat memilih-milih tontonan untuk melepas penat.
Where The Crawdads Sing bisa disaksikan di bioskop Indonesia mulai 14 September 2022.
|
(end)