Ikatan Senat Mahasiswa Kedokteran Indonesia (ISMKI) bersama aliansi lembaga eksekutif mahasiswa Fakultas Kedokteran (FK) se-Indonesia mengecam tindakan DPR dan pemerintah yang berupaya masuk dalam polemik kasus etik yang berujung pemberhentian mantan Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto.
“Mengecam keras upaya DPR dan pemerintah untuk melakukan intervensi terhadap penanganan kasus etik Prof. Dr. dr. Terawan Agus Putranto, Sp.Rad(K),” tulis Sekretaris Jenderal ISMKI Mohammad Alief Iqra melalui keterangan tertulis yang diterima CNNIndonesia.com, Senin (11/4).
ISMKI, lanjut Alief, juga mendesak agar DPR dan pemerintah tidak memasuki ranah internal keprofesian dalam menyelesaikan polemik pemberhentian Terawan.
Mereka juga menyatakan dukungan atas penegakan kode etik kedokteran yang dilakukan Majelis Kehormatan Etik Kedokteran (MKEK) IDI terkait kasus Terawan.
MKEK diketahui telah melayangkan rekomendasi kepada IDI untuk memberhentikan Terawan dari keanggotaan sejak acara sidang khusus Muktamar IDI Ke-31 yang digelar di Aceh 25 Maret lalu.
“Mendorong dokter-dokter Indonesia untuk mengikuti kaidah Evidence-Based Medicine (EBM) demi menjamin keselamatan pasien,” lanjut Alief.
Alief kemudian menyoroti Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly yang sebelumnya mengaku berencana merevisi kewenangan IDI dalam memberi izin praktik dokter terkait polemik pemecatan Terawan.
ISMKI juga menyoroti Anggota Komisi IX DPR RI Irma Suryani Chaniago yang sempat menyerukan bubarkan IDI saat menyampaikan pernyataan dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) antara Komisi IX dan IDI yang digelar pada 4 April lalu.
“Upaya intervensi dari pemerintah dan DPR ini sangat disayangkan mengingat sebenarnya proses penanganan kasus dr Terawan sudah dijalankan sesuai prosedur yang berlaku,” jelasnya.
Alief lantas membeberkan, berdasarkan informasi yang didapatkan dari hasil penjelasan khusus ihwal kasus yang disampaikan mantan Ketua MKEK Pusat Broto Wasisto pada saat Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan DPR pada tahun 2018.
Diketahui bahwa kasus ini bermula saat Terawan melakukan tindakan terapi stroke iskemik kronik yang dikenal sebagai Brain Washing (BW) atau Brain Spa (BS).
Metode cuci otak Terawan itu dikenal sebagai Intra-Arterial Heparin Flushing (IAHF) untuk tujuan terapi yang merupakan modifikasi Digital Subtraction Angiography (DSA).
Metode itu dipakai Terawan sejak 2013. Namun, metode tersebut disebut belum memenuhi kaidah EBM.
Terawan pun dilaporkan tidak mampu memberikan bukti ilmiah terbaik yang tersedia dari penelitian klinis untuk membantu membuat keputusan tentang perawatan pasien individu.
Alief melanjutkan, artikel Terawan pada Bali Medical Journal dan Indonesia Biomedical Journal memiliki nilai poor atau di bawah 13 berdasarkan kriteria Consolidated Standard of Reporting Trials (CONSORT) terkait aspek kualitasnya.
Sementara dari aspek validitas metodologi dianggap cacat dari segi desain penelitian, besar sampel, cara pengambilan sampel, dan penulisan yang tidak sesuai dengan prinsip randomized control trial (RCT), khususnya dalam aspek randomisasi sehingga terancam memberikan hasil yang bias.
“Selain itu, terdapat pula beberapa kejadian dimana terapi BW dengan metode DSA dilakukan pada pasien dengan kontraindikasi sehingga menimbulkan kematian, salah satunya di RSUD Dr Soetomo,” ujar Alief.
Ia melanjutkan, pada tahun 2016, MKEK IDI kembali menerima laporan dugaan pelanggaran etik Terawan dari Pengurus Pusat (PP) Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia (PERDOSSI).
Dari yang diketahui pihaknya, PERDOSSI keberatan terkait beberapa hal, antara lain tindakan pengiklanan diri secara berlebihan, laporan bahwa terdapat biaya besar untuk tindakan yang belum memenuhi kaidah EBM.
MKEK IDI juga sebelumnya telah mengaku mengundang Terawan sebanyak enam kali, namun Terawan hanya memberikan jawaban sebanyak empat kali dan tidak ada itikad baik untuk berkomunikasi ulang atau datang ke MKEK PB IDI.
“Dari kronologis tersebut, dapat disimpulkan bahwa dr Terawan telah melakukan beberapa pelanggaran etik kedokteran,” ujar Alief.
(khr/kid)