Jakarta, CNN Indonesia —
Perjalanan saya ke Olimpiade Barcelona 1992 terbilang singkat, hanya sekitar 2 tahun sejak kali pertama masuk Pelatnas pada 1990.
Saya dipanggil Pelatnas taekwondo setelah lulus SMA, dari Yogyakarta saya pindah ke Jakarta. Ketika itu Pelatnas pertama di Cisarua, Bogor, lalu pindah-pindah termasuk ke Cibodas.
Waktu awal masuk Pelatnas itu belum program Olimpiade. Pada 1990 itu ada Kejuaraan Asia Taekwondo di Taiwan, kemudian SEA Games 1991 di Filipina, saya dapat perak, lalu Kejuaraan Dunia Taekwondo di Athena, Yunani.
Dipanggil lagi ke Pelatnas pada 1992 untuk persiapan Olimpiade 1992. Ada 10 atlet yang dipanggil: saya, Ade Novrizal, Ina Febriana Sari, Rita Elis, Susilawati, Siau Lung, John Suhartono, Yefi Triaji, Dirc Richard, Bambang Wijanarko.
Sebelum ke Olimpiade ada beberapa try out, US Open di Colorado Spring saya dapat perak, Seato di Filipina dapat emas, dan di European Open di Belgia dapat emas.
Setelah pulang dari try out itu ada seleksi terakhir untuk ke Barcelona. Dari 10 orang itu cuma lima yang diberangkatkan: Saya dari fin putri, Siau Lung dari feather putri, Susilawati welter putri, Yefi Triaji fin putra, dan Dirc Richard fly putra.
Hasilnya dari lima atlet taekwondo yang berangkat ke Olimpiade 1992 itu, kami dapat 3 perak dan 1 perunggu. Ketiga perak itu dari saya, Susilawati, dan Dirc Richard. Perunggu dari Yefi.
Saya sendiri bisa ke Olimpiade karena menempati peringkat kelima di dalam Kejuaraan Dunia Taekwondo 1991 di Athena. Saya salah satu dari delapan atlet yang berhak ke Olimpiade. Perjuangan saya di Barcelona dimulai sejak babak penyisihan dengan melawan atlet Denmark (Helle Panzieri).
Rahmi Kurnia bersama medali yang diraihnya. (Arsip Pribadi)
|
Atlet Denmark ini peringkat kedua di Kejuaraan Dunia Athena. Dan dia tinggi sekali, sekitar 173 sentimeter, sedangkan saya hanya 158 sentimeter, jadi tinggi saya ini hanya sampai dada dia.
Cuma pelatih saya, Master Alex Harjanto, tetap meyakinkan saya, kalau saya bisa menang melawan Denmark.
“Rahmi, dia itu makanan kamu,” kata Master Alex waktu itu.
Sewaktu Pelatnas di Indonesia di Villa Dirgantara di Cipayung kami sering berlatih dengan orang-orang yang lebih tinggi, termasuk dengan timnas taekwondo Korea Selatan selama satu setengah bulan.
Jadi sebenarnya saya cukup siap dengan duel pertama itu. Waktu bertanding saya tidak memandang dia peringkat dua Kejuaraan Dunia. Saya hanya merasa perlu tampil maksimal.
Instruksinya saya hanya harus bermain dengan pola saya, jangan terpancing dengan pola lawan. Pola saya kan bermain counter dan saya tidak boleh mundur, karena postur saya pendek, sedangkan dia tinggi.
|
Kalau saya sampai mundur, saya pasti kena serang dia. Dalam duel itu saya terus mengambil jarak pendek, sampai akhirnya dia frustrasi karena serangannya tidak kena kepada saya.
Akhirnya alhamdulillah saya menang. Saya sendiri tidak tahu bagaimana perasaan waktu itu, bisa menang melawan peringkat dua Kejuaraan Dunia. Apalagi saat itu tidak ada yang kenal dengan Indonesia.
Setelah penyisihan lewat, saya melawan atlet Inggris (Amanda Broadbent). Kali ini tingginya hampir sama dan saya menang lagi lalu masuk ke final.
Di final saya bertemu atlet Taiwan (Lo Yueh Ying). Gaya permainan duel kami sama, sehingga terjadi adu speed di sana, karena tingginya juga sama.
Dalam pertarungan itu terjadi jual-beli serangan, sampai akhirnya nilainya sama 4-4. Lucunya waktu itu kemenangan ditentukan wasit, yang memenangkan atlet Taiwan itu.
Kalau sekarang ini mungkin saat poin sama bisa ditentukan dengan golden point, ada alat elektroniknya juga. Jadi kalau nilai sudah sama, diadu lagi, siapa yang dapat poin lebih dahulu dalam golden point itu dia yang menang.
Rahmi Kurnia saat aktif berkarier sebagai atlet taekwondo. (Arsip Pribadi)
|
Sedangkan dulu di Olimpiade 1992 itu belum berlaku. Jadi begitu imbang 4-4, yang menentukan adalah keputusan wasit.
Saat pertandingan selesai, wasit-wasitnya itu pada dipanggil, dikumpulin di tengah. Bahkan pengumumannya itu sampai dua kali batal. Jadi ketika mau diumumkan tidak jadi, sampai dua kali.
Tapi akhirnya Taiwan yang menang, karena dia dianggap lebih agresif. Sedangkan saya mendapatkan medali perak. Cuma setelah itu ya saya jadi seperti menggerutu sendiri.
Saya kalah dengan keputusan seperti itu. Kok bisa sih dia yang menang, padahal kan saya menyerang terus. Perasaan saya juga saat dia menendang tidak pernah kena, tapi kok dia yang menang.
Perak Olimpiade itu bisa jadi pencapaian tersukses saya di taekwondo. Kebetulan sejak masuk Pelatnas dari 1990 sampai dengan 1995 dan pensiun pada 1996, saya selalu mendapat medali di setiap kejuaraan.
Saya merasa menjalani karier di taekwondo selama 12 tahun sudah cukup, karena saya kenal taekwondo dari usia 10 dan mulai jadi atlet saat usia 14 tahun. Waktu saya pensiun pada 1996 itu usia saya 26.
|
Menurut saya usia emas atlet taekwondo putri itu saat 22 hingga 25. Kalau sudah 26, 27 tahun ke atas sudah lewat usia emas di taekwondo. Kalau hanya untuk di level nasional usia 26 atau 27 masih bisa.
Karena itu waktu 1996 saya merasa sudah waktunya pensiun. Apalagi pada 1998 saya juga sudah memiliki lisensi pelatih nasional.
Setelah pensiun itu waktu saya untuk keluarga dan melatih, Saya memiliki cita-cita punya atlet yang bisa dibanggakan. Maka dari itu sejak 2011 sampai 2019 kemarin saya jadi pelatih di Pelatnas. Sejak 2015 hingga 2019 pegang posisi Kepala Bidang Pembinaan dan Prestasi PB TI.
Saat ini saya jadi anggota bidang organisasi PB TI. Dan juga fokus mengelola dojang yang saya dirikan yaitu PTC Bantul, RKTS, BTC, RKTFC, GTC, Yonif 403 dan atlet-atlet PAB DIY.
Saya berharap nantinya atlet-atlet muda binaan saya ke depan menjadi andalan DIY maupun Indonesia serta dapat lahir Rahmi-Rahmi yang baru. Bahkan saya berharap prestasinya dapat melebihi apa yang pernah saya raih.
Baca lanjutan testimoni Rahmi Kurnia di halaman kedua >>>