loading…
Data Riskesdas menunjukkan prevalensi penyakit kardiovaskular seperti hipertensi meningkat dari 25,8% (2013) menjadi 34,1% (2018), stroke 12,1 per mil (2013) menjadi 10,9 per mil (2018), penyakit jantung koroner tetap 1,5% (2013-2018), penyakit gagal ginjal kronis, dari 0,2% (2013) menjadi 0,38% (2018).
Ketua Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia (PERKI), DR dr Isman Firdaus Sp.JP (K), FIHA, FAPSIC, FAsCC, FESC, FACC, FSCAI, mengungkapkan tingginya prevalensi penyakit jantung koroner di Indonesia disebabkan oleh perubahan gaya hidup yang tidak sehat seperti merokok dan pola makan yang tidak seimbang.
“Gaya hidup, merokok, dan pola makan merupakan kontributor utama terjadinya penyakit jantung koroner (PJK), dilaporkan 50% penderita PJK berpotensi mengalami henti jantung mendadak atau sudden cardiac death,” terangnya dikutip dari laman Kementerian Kesehatan, Jumat, 1 Oktober 2021.
Baca juga: Obat Termahal di Dunia, Ada yang Rp30 Miliar Sekali Suntik!
Dia menuturkan, di masa pandemi sekarang ini, orang dengan komorbid terutama penyakit kardiovaskular memiliki risiko yang sangat tinggi apabila terpapar Covid-19.
Hal tersebut terlihat dari data di RS, yang memperlihatkan bahwa tingkat perawatan di RS dan angka kematian pasien Covid-19 dengan komorbid juga meningkat selama pandemi.
“Laporan RS di masa pandemi menunjukkan bahwa 16,3% pasien yang dirawat dari ruang isolasi Covid-19 ternyata mempunyai komorbid. Namun pada situasi Covid-19, angka kematian meningkat 22-23%. Ini salah satunya terjadi karena paparan Covid-19 yang menyebabkan perburukan dari jantung kita,” jelas dr Isman.
Dia mendorong agar upaya promotif preventif terus dilakukan masyarakat untuk menghindari timbulnya masalah kesehatan penyakit kardiovaskular terutama penyakit jantung koroner. Selain membudayakan pola hidup sehat, ditekankan agar masyarakat juga aktif menerapkan protokol kesehatan dan segera mengikuti vaksinasi Covid-19 untuk memberikan perlindungan yang optimal.